Mengenang Generasi Emas Inggris yang Gagal Total, Apa Penyebabnya?

Inggris memastikan diri melaju ke semifinal Piala Eropa 2020. Football is coming home kembali menggema di kalangan penggemar. Jauh sebelum itu, football is coming home sudah menggema di kalangan publik pada masa 2000-an. Bagaimana tidak, skuad Inggris kala itu dilabeli "Golden Generation".
Generasi emas tidak lahir setiap saat, bahkan di negara yang memiliki tradisi kuat sepak bola. Hanya segelintir negara yang dikaruniai pesepak bola dengan kemampuan di atas rata-rata dalam satu waktu.
Jika saat itu datang, mereka sangat berpeluang untuk berprestasi. Brasil, Italia, Spanyol, Jerman dan Prancis telah membuktikan hal tersebut. Namun generasi emas Inggris, justru gagal total. Seperti apa faktanya, dan apa penyebabnya mereka gagal?
1. Mengenal generasi emas Inggris

Pada era 2001 hingga 2010, Inggris dikaruniai pesepak bola top dalam satu waktu. Mereka memiliki Ferdinand, John Terry, Gerrard, Lampard, Beckham, Rooney dan masih banyak lagi. Para pemain tersebut meraih kesuksesan saat membela klub, baik di Premier League maupun Liga Champions.
Liga mereka juga dicap sebagai yang terbaik di dunia dalam beberapa dekade. Tapi, tak ada satupun trofi yang dimenangkan The Three Lions. Pencapaian terjauh dari generasi emas Inggris di turnamen besar adalah perempat final.
Banyak yang berasumsi jika generasi emas Inggris tak ada chemistry antar pemain. Jauh dari itu, ada beberapa alasan mengapa generasi emas Inggris tak meraih satupun trofi.
2. Ekspektasi yang terlalu tinggi

Ketika ekspektasi terlalu berlebihan, tanpa disadari pemain justru mendapat tekanan yang sangat luar biasa. Memang mustahil untuk tak memiliki harapan terhadap skuad megabintang seperti Inggris. Kualitas mereka sudah tak diragukan lagi dan memiliki jam terbang tinggi di liga domestik hingga Liga Champions.
Kita semua tahu betapa kejamnya media Inggris. Hype yang berlebihan dan kritik di luar batas sudah menjadi hal biasa. Hal itu membuat pemain tertekan dan tidak nyaman terhadap pressure media. Mereka superior di kualifikasi, namun selalu melempem saat di putaran final. Sebagai contoh, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
3. Tidak memiliki keberuntungan saat adu penalti

Mungkin hal ini terdengar konyol, tapi itulah faktanya. Adu penalti memang membutuhkan keberuntungan, dan sepertinya Inggris tak pernah memiliki itu. Buktinya, generasi emas Inggris tersingkir dari turnamen besar berturut-turut saat mereka kalah adu penalti melawan Portugal.
Padahal saat itu, mereka dihuni oleh para maestro tendangan penalti. Lampard, Gerrard hingga Beckham menjadi penendang utama penalti di klubnya. Mereka sudah biasa menghadapi tekanan saat menjadi algojo penalti. Tetapi entah kenapa, saat membela Inggris mereka gagal melakukan itu.
4. Salah menunjuk pelatih

Selain itu, Inggris juga dinilai kerap menunjuk pelatih yang kurang tepat. Di era kejayaan generasi emas, Sven Goran Eriksson menjadi pelatih. Ia mampu membawa Inggris ke perempat final Piala Dunia. Setelah itu, ancaman pemecatan begitu luar biasa menggema.
Terlalu santainya Eriksson di pinggir lapangan saat timnya tertinggal, membuat suporter marah. Meskipun demikian, ia tetap bertahan di kursi kepelatihan Inggris. Dalam tiga turnamen besar di bawah asuhan Eriksson, Inggris hanya mampu ke perempat final. Berturut-turut hingga akhirnya diganti pada tahun 2006.
Ternyata pengganti Eriksson jauh lebih parah, yakni Steve McLaren. Ia gagal membawa Inggris lolos dari kualifikasi Piala Eropa 2008. Fabio Capello datang dan membawa Inggris ke Piala Dunia 2010, tapi lagi-lagi mereka gagal di sana. Mungkin salah satu alasan utama dari kegagalan generasi emas Inggris adalah dari sektor pelatih.
5. Pemain yang mementingkan ego di klub

Tak hanya sektor pelatih yang patut disalahkan, ego pemain juga harus dilihat. Terlalu banyak pemain berkelas yang berada dalam satu tim, justru menjadi bumerang. Terlalu banyak pemain hebat di posisi yang sama, justru menjadi masalah untuk timnas Inggris.
Saat itu, tak ada pemain yang dijamin posisinya di starting line-up. Para pemain yang bermain spektakuler di level klub, justru tak pernah menyatu saat membela timnas.
Mereka seperti tak menemukan chemistry, sebagai satu tim. Para pemain tak terlalu memprioritaskan timnas Inggris, karena terlalu fokus persaingan di Premier League. Rivalitas di klub, justru membuat masalah sendiri di timnas.
Saat ini, Inggris juga dihuni banyak pemain berkelas di setiap posisi. Patut kita nantikan, kiprah timnas Inggris di Piala Eropa 2020. Peluang juara terbuka lebar dan akan menghadapi Denmark di semifinal dan Spanyol atau Italia jika ke final. Akankah football is coming home benar-benar terwujud?