Sikap FIFA Masih Abu-abu Soal Israel, Potensi Sanksi Minim

- FIFA masih abu-abu soal sikap terhadap Israel
- Infantino tidak memberi jawaban tegas terkait potensi sanksi bagi Israel
- Israel diprotes di Eropa karena agresi ke Palestina
Jakarta, IDN Times - Sikap FIFA terhadap Israel masih belum jelas. Posisi mereka yang tak jelas tampak saat Presiden FIFA, Gianni Infantino, ditanya terkait potensi sanksi buat Israel dalam pertemuan dengan para petinggi negara-negara ASEAN di Konferensi Tingkat Tinggi, Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu.
Dalam acara peluncuran FIFA Asean Cup di Malaysia, Infantino tidak memberi jawaban tegas. Dia cuma melayangkan pernyataan yang mengambang, menandakan belum jelasnya sikap FIFA soal Israel.
1. Menyinggung soal kehadiran di KTT Perdamaian Gaza
Dilansir New Straits Times, Infantino justru bicara hal lain ketika disinggung mengenai potensi sanksi yang bakal diterima Israel. Dia malah menyinggung soal kehadiran FIFA di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Gaza beberapa waktu lalu.
"Saya bersyukur menjadi saksi puncak perdamaian baru-baru ini, yang didatangi oleh Presiden (Amerika Serikat) Donald Trump dan pemimpin lainnya," kata Infantino.
2. Menyinggung perdamaian, tetapi tak spesifik
Infantino memang menyinggung perdamaian dalam ucapannya. Namun, dia tidak secara spesifik menyinggung harapan perdamaian yang konsisten di tanah Palestina.
"Kita semua mendukung perdamaian dan persatuan, serta segala upaya untuk menyatukan umat manusia. Kita juga sudah menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja," kata Infantino.
3. Padahal, Israel sudah diboikot di Eropa
Israel menjadi sorotan karena agresi tanpa henti ke Palestina. Sejak serangan Israel pada Oktober 2023, total ada sebanyak 63.700 korban jiwa. Bahkan, ada mantan pesepak bola Palestina yang menjadi korban serangan Israel, yakni Suleiman Al Obeid.
Di Eropa, Israel selalu menghadapi aksi protes saat menjalani Kualifikasi Piala Dunia 2026. Paling masif terjadi saat mereka dikalahkan Italia di Florence, 15 Oktober 2025 lalu, memaksa otoritas keamanan menurunkan pasukan penembak jitu atau sniper.


















