Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

3 Sisi Unik Allsvenskan, Liga Utama Sepak Bola Swedia  

ilustrasi stadion (IDN Times/Mardya Shakti)

Kalau harus memilih, penikmat sepak bola dunia jelas akan menonton liga-liga yang sudah populer, seperti lima liga elite Eropa yang terdiri dari Bundesliga Jerman, LaLiga Spanyol, English Premier League, Ligue 1 Prancis, dan Serie A Italia. Selain jaminan kualitas, keberadaan pemain bintang dan kemudahan akses tayangan streaming jadi beberapa alasan kuat.

Namun, pernahkah kamu jengah dengan liga-liga elite itu? Salah satunya karena model bisnis kepemilikan ganda dan keterlibatan perusahaan besar yang bikin beberapa klub mendominasi sebuah liga selama beberapa tahun berturut-turut. Ada banyak opsi untuk lari dari mereka sebenarnya. Eredivisie Belanda, Serie A Brasil, Belgian Pro League, Liga Primer Rusia, Danish Superliga bisa jadi alternatif.

Sayangnya, belum banyak yang menengok liga sepak bola Swedia, Allsvenskan. Mengapa menarik? Ternyata ada tiga sisi unik yang wajib kita tahu. Ini ulasannya.

1. Bebas dari proyek kepemilikan ganda yang sedang tren di banyak negara

Tidak seperti yang terjadi di banyak liga elite Eropa yang mengamini dan mendukung model bisnis kepemilikan ganda, Allsvenskan menghalanginya dengan regulasi 50+1. Sistemnya serupa dengan Bundesliga Jerman. Setidaknya, separuh saham klub dimiliki penggemar atau anggota yang datang dari masyarakat umum. Sempat ada wacana untuk menghapus peraturan tersebut, tetapi Swedish Football Supporter’s Union (SFSU) alias asosiasi penggemar dengan sigap menolak. 

Menariknya, pengelola liga profesional Swedia, Swedish Professional Football Leagues (SEF), yang menaungi 32 klub di Allsvenskan (liga utama) dan Superettan (liga kasta kedua), selalu mendengar input SFSU. Regulasi 50+1 masih berlaku sampai sekarang dan mengikat klub-klub Swedia. Bahkan, yang berstatus raksasa seperti FF Malmo, Hammarby, AIK, dan Djurgaden IF. Malmo mengeklaim dimiliki sepenuhnya oleh fans, sementara Hammarby, AIK, dan Djurgaden IF melibatkan perusahaan besar dan investor privat yang besaran tiap sahamnya di kisaran 20 persen. Boleh jadi kurang.

2. Fans punya andil dalam pengambilan keputusan

Dengan model 50+1, fans punya andil besar dalam penentuan keputusan. Sudah disinggung sebelumnya bagaimana mereka bisa mendirikan asosiasi yang diakui dan didengar oleh pengelola liga. Salah satu keputusan krusial yang dibuat berdasar pertimbangan dan keinginan penggemar adalah ketiadaan video assistant referee (VAR) dalam liga sepak bola Swedia. Ini mereka minta untuk mempertahankan keautentikan pertandingan. Tak hanya itu, pengelola liga juga tak lelah meminta masukan penggemar untuk beberapa detail pertandingan, termasuk jadwal dan akses tayangannya. 

Hasilnya tak main-main. Komitmen pengelola liga untuk mendengar kebutuhan serta keinginan penggemar berbanding lurus dengan popularitas Allsvenskan dan Superettan. Pada 2024, kedua liga ini mengalami kenaikan jumlah penonton signifikan di stadion, yang berpengaruh pula dalam pendapatan klub. Sebuah survei yang dikutip The New York Times pada 2023 menunjukkan, 40 persen penggemar sepak bola Swedia memilih liga domestik, terutama Allsvenskan, sebagai liga sepak bola favorit mereka.

Hasil itu berarti menyingkirkan liga dan turnamen elite Eropa yang sebelumnya lebih diminati penggemar sepak bola Swedia sedekade lalu. Meski begitu, klub-klub Swedia masih punya masalah dengan ketidaktertiban penggemar fanatik (ultras). Beberapa pelanggaran seperti penggunaan pyrotechnic di stadion hingga pitch invasion masih kerap terjadi.

3. Keberadaan mekanisme solidaritas yang mencegah dominasi tim tertentu

Hal menarik lain dari liga sepak bola Swedia adalah keberadaan mekanisme solidaritas keuangan. Mengutip liputan The Athletic, mekanisme ini dibuat untuk memastikan tidak ada satu klub yang mendominasi liga. FF Malmo sebagai klub yang paling sering mewakili Swedia di turnamen Eropa, misalnya, akan dapat pendanaan dari pengelola liga Swedia (SEF) dengan harapan mereka bisa masuk ke putaran final. Setelah itu, mereka diharapkan untuk mengembalikan dana tersebut dengan bunga kepada SEF usai dapat hibah dari partisipasi mereka di turnamen tersebut. 

Nantinya, dana itu dikelola SEF dan dibagi kepada klub-klub lain dengan proporsi tertentu. SEF juga memastikan tiap klub dapat royalti dari distributor tayangan pertandingan dalam jumlah yang sama rata. Mekanisme ini mungkin terdengar tidak adil, tetapi berhasil membangun dan memastikan keberlanjutan liga. 

Allsvenskan memang makin populer di Swedia, tetapi tidak bisa dimungkiri kalau klub-klub Swedia akan tetap mengalami kesulitan untuk bersaing dengan klub-klub dari liga elite Eropa dengan sistem semisosialis itu. Ini terbukti lewat sepak terjang 2 klub langganan kompetisi Eropa mereka. FF Malmo, misalnya, belum pernah mentas dari fase grup tiap berpartisipasi di turnamen yang kini bernama UEFA Champions League sejak jadi runner-up European Cup 1978/1979. Begitu pula dengan IFK Göteborg yang terakhir mencapai final UEFA Europa League pada 1980-an.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us