5 Hal yang Bikin Ragu Beli HP itel, Nama Unik Saja Belum Cukup!

- Penamaan "itel" yang agak rancu dan kurang eksklusif
- Masih perlu banyak pembuktian di pasar Indonesia sebagai merek yang layak diperhitungkan
- Kualitas kamera yang belum mumpuni, minimnya kejelasan update software, dan pilihan produk terbatas di kelas entry-level
HP itel punya nama unik dan terdengar asing di telinga. Padahal, itel masih satu rumpun bersama Infinix dan TECNO di bawah naungan Transsion Holdings. Kalau kamu sedang mencari HP sejutaan, sudah jelas itel pasti masuk daftar.
Dulu, itel pernah mengusung slogan “HP Sejuta? itel Pilihannya” sebagai materi promosi. Dari segi segmen, mereka biasanya menyasar rentang harga yang serupa mirip Infinix Smart dan Hot Series. Banderolnya tergolong murah untuk ukuran smartphone Android, yakni sekitar Rp1 jutaan hingga Rp1,5 jutaan. Tak heran, bila itel punya price-to-value yang begitu tinggi.
Namun, di balik segudang kelebihan yang membuat kompetitor lain ketar-ketir, ada juga sejumlah kelemahan yang juga tak luput dari perhatian. Terutama soal nama dan reputasi merek. Apakah itel boleh berpuas diri hanya karena punya nama yang unik? Atau justru ada hal-hal lain yang membuat calon pembeli jadi ragu? Ini sederet catatannya!
1. Nama produk yang sama dengan salah satu bahasa daerah

Nama merupakan elemen awal yang membentuk persepsi publik terhadap suatu produk. Dalam hal ini, merek itel sebenarnya dibaca sebagai “aitel”, bukan “itel” seperti yang lazim terbaca dari tulisannya. Di sinilah letak persoalannya. Dalam bahasa Jawa atau Sunda pada umumnya, "itel" memiliki arti salah satu organ intim perempuan yang tentu kurang pantas diucapkan dalam banyak konteks percakapan sehari-hari. Alhasil, nama yang seharusnya memperkuat citra merek justru bisa menjadi sumber kesalahpahaman dalam interaksi sehari-hari, terutama saat seseorang merekomendasikan produknya secara lisan. Branding yang semestinya menjadi daya tarik justru bisa menjadi kendala komunikasi.
Selain itu, nama “itel” sendiri belum mampu mencerminkan vibe premium, bergengsi, eksklusif, atau berkelas seperti yang biasanya dimiliki oleh merek-merek kenamaan lainnya. Meski mudah diingat, nama unik saja tidak cukup untuk membangun daya tarik jangka panjang. itel masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk membentuk citra sebagai merek smartphone yang bukan hanya unik, tetapi juga meyakinkan.
2. Masih perlu banyak pembuktian di pasar Indonesia

itel masih tergolong sebagai pendatang baru di pasar smartphone Indonesia. Ia pertama kali mengepakkan sayapnya melalui seri Vision 1 dan Vision 1 Plus pada 2020. Bisa dibilang kehadirannya terbilang belum cukup lama untuk membangun reputasi dan kepercayaan konsumen. Di saat merek lain sudah menancapkan reputasi dan konsistensinya selama bertahun-tahun, itel masih harus berjuang keras memperkenalkan dirinya sebagai merek yang layak diperhitungkan. Minimnya pengalaman serta rekam jejak membuat sebagian besar calon pembeli berpikir dua kali sebelum menjajal produk yang belum banyak teruji.
Padahal, itel berada dalam satu grup besar yang sama dengan Infinix dan TECNO, yaitu Transsion Holdings. Namun sayangnya, merek ini belum sepopuler kedua saudaranya di kalangan konsumen Indonesia. Banyak orang belum mengetahui adanya hubungan antara ketiganya sehingga tetap memilih merek yang sudah mereka percayai sejak awal. Meski spesifikasi produk itel cukup kompetitif, kekuatan merek masih menjadi faktor utama dalam menentukan keputusan pembelian. Oleh karena itu, itel perlu melakukan berbagai langkah strategis, mulai dari strategi pemasaran yang masif, menjalin kolaborasi yang relevan, hingga penguatan layanan purnajual agar bisa semakin diterima dan bersaing secara luas di pasar Tanah Air.
3. Kualitas kamera yang belum mumpuni

Keberadaan kamera bukan lagi sekadar fitur pelengkap, melainkan sudah menjadi kebutuhan utama. Sayangnya, kualitas kamera pada mayoritas HP itel masih tergolong pas-pasan. Kamera tersebut memang cukup untuk aktivitas ringan sehari-hari seperti mengambil gambar atau hanya selfie, namun, belum mampu memenuhi ekspektasi untuk fotografi yang lebih serius. Terlebih lagi, fitur seperti kamera ultrawide nyaris tidak pernah tersedia di jajaran produk itel. Padahal, fitur ini sudah umum ditemukan bahkan di smartphone entry level lain dari kompetitor.
itel juga sering menyematkan kamera tambahan yang dilabeli sebagai “AI” atau QVGA. Namun, pada kenyataannya fungsi kamera tersebut justru lebih cenderung mengarah pada hiasan visual ketimbang aspek teknis. Praktik ini menciptakan kesan seolah-olah HP memiliki banyak kamera, padahal hanya satu yang benar-benar "berfungsi". Hasil foto dalam kondisi cahaya rendah pun belum memuaskan, meski ada mode malam di beberapa model seperti itel S23. Dibandingkan hasil foto dari merek lain seperti OPPO atau vivo, itel masih harus banyak berbenah jika ingin bersaing di sektor fotografi mobile.
4. Minimnya kejelasan update software

Pembaruan software merupakan elemen krusial yang kerap luput dari perhatian pengguna awam. Sayangnya, itel termasuk merek yang belum menunjukkan komitmen jelas terkait pembaruan sistem operasi Android. Tidak ada jaminan apakah perangkat mereka akan mendapatkan versi Android terbaru atau tidak. Padahal, selain menambal celah keamanan dan memperbaiki bug, update sistem juga menyuguhkan fitur-fitur anyar yang bisa meningkatkan kenyamanan serta pengalaman penggunaan sehari-hari.
Ketiadaan roadmap pembaruan ini membuat konsumen seolah membeli "kucing dalam karung." HP itel memang bisa terasa optimal saat awal digunakan, namun, lambat laun ketidakjelasan soal update akan terasa ketika sistem mulai tertinggal dan sejumlah aplikasi tidak lagi berjalan semestinya. Ini tentu bisa merugikan, khususnya bagi pengguna yang berencana menggunakan perangkat dalam jangka waktu panjang. Di saat merek lain mulai berlomba-lomba menjanjikan 2 bahkan 3 tahun update, itel masih tampak tertinggal dalam urusan ini.
5. Pilihan produk terbatas di kelas entry-level

Dibandingkan dua saudaranya, yaitu Infinix dan TECNO, itel masih terkesan bermain aman karena hanya menyasar pasar smartphone entry level. Hampir semua produk itel berada di kisaran harga Rp1 jutaan dengan penamaan seri seperti Vision, A, S, dan P yang sebenarnya tak terlalu jauh berbeda dalam hal spesifikasi. Tidak ada varian untuk kelas smartphone mid-range atau flagship yang memungkinkan pengguna merasakan pengalaman berbeda di level harga yang lebih tinggi.
Akibatnya, persepsi publik terhadap itel pun cenderung terbatas sebagai merek HP “murah meriah” saja. Padahal, memperluas segmentasi produk bisa membantu memperbaiki citra dan memperbesar peluang penetrasi pasar. Jika terus terjebak di segmen bawah, itel bisa kesulitan untuk bersaing dalam jangka panjang dan rawan tertinggal dari dinamika tren serta tuntutan konsumen. Padahal, merambah pasar smartphone mid-range atau flagship bisa menjadi langkah strategis untuk menunjukkan kemampuan inovasi sekaligus memberi tekanan kompetitif pada merek-merek besar lainnya.
itel memang punya potensi untuk berkembang, terutama karena menyasar segmen pasar yang besar di Indonesia. Namun, agar bisa benar-benar bersaing dengan merek smartphone yang sudah punya nama besar, itel masih punya beberapa catatan penting yaitu memperkuat reputasi, meningkatkan kualitas, dan memperluas segmentasi produknya. Memang, nama unik bisa menjadi pemantik awal yang menarik perhatian. Tapi, menang nama unik saja tidak cukup. Justru, kualitas dan konsistensi adalah kunci untuk membangun kepercayaan jangka panjang.
Terlepas dari beberapa kekurangan yang sudah dijelaskan di atas, kamu jadi punya lebih banyak pertimbangan untuk memilih dan memilah mana HP terbaik yang pantas dibeli sesuai kebutuhan. Pada akhirnya, keputusan setiap orang dalam membeli atau meng-upgrade HP ditentukan oleh relevansi fitur dan performa dengan gaya hidup serta prioritas masing-masing. Kira-kira, apakah kamu juga merasakan kekurangan-kekurangan ini saat mempertimbangkan untuk membeli HP itel?