Kenapa HUAWEI Pura 80 Ultra Belum Mendukung Jaringan 5G?

- Adanya sanksi dagang terhadap HUAWEI
- Pemerintah AS membatasi akses HUAWEI terhadap komponen teknologi AS, termasuk modem 5G
- Faktor keamanan dan regulasi ketat di negara Barat juga memengaruhi
- Chipset Kirin 9020 mampu mendukung 5G di China, namun tidak sepenuhnya diaktifkan untuk pasar internasional
HUAWEI Pura 80 Ultra resmi mendarat di pasar Indonesia pada 17 September 2025 bersama dengan HUAWEI Pura 80. Sebagai kasta tertinggi dari lini Pura 80 series, HUAWEI Pura 80 Ultra dibanderol mulai harga Rp22.999.000. Melansir berita ANTARA Senin (22/9/2025), PT Global Digital Niaga Tbk (Blibli) ditunjuk sebagai mitra penjualan resmi HUAWEI. Melalui kerja sama ini, Blibli menghadirkan beragam program penjualan untuk dua model terbaru, yakni Pura 80 Pro dan Pura 80 Ultra.
Menariknya, HUAWEI Pura 80 Ultra melanjutkan prestasi pendahulunya, HUAWEI Pura 70 Ultra. Perangkat ini berhasil merebut peringkat pertama sebagai smartphone berkamera terbaik di dunia versi DxOMark. Sebagai gambaran, HUAWEI membekalinya kamera telefoto ganda berukuran sensor super besar. Hasilnya, detail dan ketajaman foto jarak jauh mampu dijaga pada level yang sulit disaingi kompetitor.
Sebagai smartphone flagship yang punya desain premium serta unggul di sektor kamera, wajar jika ekspektasi konsumen semakin tinggi. Sayangnya, ada satu hal yang membuat sebagian penggemar gadget kecewa yaitu absennya dukungan jaringan 5G pada versi internasional. Ketiadaan fitur ini terasa janggal, mengingat HUAWEI Pura 80 Ultra dipasarkan di kelas premium, di mana konsumen biasanya mengharapkan kelengkapan fitur termasuk teknologi jaringan terbaru.
Hal tersebut pun menimbulkan pertanyaan besar soal kenapa smartphone seharga Rp20 jutaan lebih ini hanya mendukung jaringan 4G di banyak pasar luar China? Apalagi, di situs resmi HUAWEI tercatat bahwa perangkat ini memang tidak menyertakan dukungan 5G dalam spesifikasinya. Kira-kira, apa sebenarnya alasan di balik keputusan tersebut? Simak ulasannya berikut!
1. Adanya sanksi dagang terhadap HUAWEI

Salah satu alasan utama yang sering disorot adalah adanya sanksi dagang terhadap HUAWEI. Sejak 2019, pemerintah Amerika Serikat membatasi akses HUAWEI terhadap komponen berbasis teknologi AS, termasuk modem 5G yang biasanya diproduksi oleh Qualcomm atau disertakan melalui lisensi ARM. Dampaknya, HUAWEI kesulitan untuk merakit versi global yang memiliki dukungan penuh terhadap jaringan 5G. Hambatan geopolitik ini menjadi penghalang besar dalam pengembangan teknologi mereka di pasar internasional.
Selain itu, faktor keamanan juga ikut memengaruhi. Melansir ChannelE2E, beberapa negara melarang perangkat HUAWEI dalam infrastruktur 5G mereka karena isu keamanan siber dan potensi penyalahgunaan data. Regulasi yang ketat di negara-negara Barat membuat Huawei harus menyesuaikan produk yang mereka jual di luar China. Hal ini menjelaskan mengapa fitur 5G di HUAWEI Pura 80 Ultra versi global kemungkinan besar dinonaktifkan untuk menghindari hambatan izin dan sertifikasi.
Salah satu tantangan klasik HUAWEI di luar pasar China adalah keterbatasan dukungan terhadap jaringan 5G. Kondisi ini membuat perangkat mereka tidak hanya absen dari layanan Google, tetapi juga tidak dibekali akses 5G. Meski di Indonesia jaringan 5G memang belum merata, rasanya kurang sepadan jika sebuah smartphone flagship seperti HUAWEI Pura 80 Ultra hanya mengandalkan koneksi 4G.
2. Kemampuan jaringan 5G tidak sepenuhnya diaktifkan untuk versi internasional

HUAWEI Pura 80 Ultra ditopang oleh chipset Kirin 9020 yang disebut-sebut mampu mendukung 5G di versi pasar China. Namun, untuk pasar internasional, kemampuan ini tidak sepenuhnya diaktifkan. Ada kemungkinan HUAWEI menggunakan varian chipset berbeda atau mematikan modul 5G melalui software. Perbedaan versi regional ini biasa dilakukan perusahaan untuk menyesuaikan dengan kondisi rantai pasok dan regulasi masing-masing negara.
Selain persoalan hardware, ada pula masalah sertifikasi. Setiap negara memiliki band frekuensi 5G berbeda yang harus disesuaikan oleh produsen. Jika HUAWEI tidak menyesuaikan band tersebut atau gagal mendapatkan sertifikasi operator setempat, fitur 5G tidak dapat diaktifkan secara resmi. Biaya untuk mengurus sertifikasi di berbagai negara juga tinggi, sehingga HUAWEI mungkin lebih memilih untuk merilis versi yang hanya mendukung 4G di pasar tertentu.
3. Penetrasi jaringan 5G belum sepenuhnya merata di seluruh wilayah

Tidak bisa dipungkiri, penetrasi jaringan 5G di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih sangat terbatas. Menurut laporan GoodStats, layanan 5G di Indonesia baru hadir di kota-kota besar, sementara jumlah operator pendukung juga belum merata. Kota Surakarta tercatat hampir 100 persen terlayani sinyal 5G dengan capaian 99,09 persen. Di Jakarta Pusat, ketersediaannya sudah mencapai 83,49 persen, disusul Makassar sebesar 61,23 persen, dan Jakarta Selatan sebesar 55,69 persen. Selain itu, adopsi perangkat 5G juga belum luas karena harga smartphone berteknologi 5G relatif mahal bagi banyak konsumen. Kondisi ini membuat 4G tetap menjadi jaringan dominan dalam aktivitas digital sehari-hari.
Sementara itu, data dari situs resmi Komdigi menunjukkan bahwa pemanfaatan jaringan 5G secara global justru berkembang sangat pesat. Pada 2020, sedikitnya 140 jaringan 5G komersial telah beroperasi di 59 negara, dan lebih dari separuh di antaranya dibangun oleh HUAWEI. Penerapan aplikasi berbasis 5G di sektor industri juga semakin marak sejak 2021 yang mencakup lebih dari 20 bidang seperti manufaktur, kesehatan, pendidikan, hingga logistik. Salah satu contoh penerapan nyata adalah di Pelabuhan Yanshen, Shanghai, di mana sistem otomatisasi berbasis 5G mampu menekan biaya logistik secara signifikan.
Dalam konteks ini, strategi HUAWEI tampak cukup pragmatis. Alih-alih memaksakan kehadiran 5G yang belum bisa dinikmati luas oleh pengguna di Indonesia, mereka memilih untuk menonjolkan keunggulan lain, seperti kualitas kamera superior, desain premium, serta integrasi ekosistem. Pendekatan ini memungkinkan HUAWEI tetap kompetitif di segmen flagship tanpa harus menanggung biaya tambahan untuk sertifikasi 5G maupun menghadapi hambatan politik di berbagai negara. Bagi konsumen Indonesia, ketiadaan jaringan 5G mungkin tidak terlalu mengganggu, mengingat jaringannya sendiri masih belum merata di dalam negeri.
Absennya dukungan 5G pada HUAWEI Pura 80 Ultra versi global dapat diilhami sebagai hasil dari kombinasi faktor geopolitik, keterbatasan teknologi, regulasi sertifikasi, dan pertimbangan bisnis. Meski hal ini membuatnya terlihat tertinggal dibandingkan kompetitor sekelas, HUAWEI tetap berusaha menutup kekurangan tersebut melalui pengalaman fotografi terbaik serta desain menawan. Bagi sebagian konsumen, keunggulan ini cukup untuk mengurangi rasa kecewa terhadap absennya 5G.
Namun, bagi pengguna yang sudah terbiasa memakai jaringan 5G atau tinggal di wilayah dengan cakupan 5G luas, keterbatasan ini bisa menjadi pertimbangan serius sebelum membeli. Pada akhirnya, keputusan memiliki HUAWEI Pura 80 Ultra akan sangat ditentukan oleh prioritas calon pembeli. Apakah mereka lebih mementingkan kamera dan desain premium, atau justru mengutamakan konektivitas generasi terbaru yang lebih cepat?