Banyak Dikritik, Ini 7 Game dengan Monetisasi Paling Tidak Masuk Akal

- The Sims 4 EA menerapkan sistem monetisasi mahal dengan total harga DLC mencapai Rp22,5 juta.
- Evolve hancur reputasinya karena strategi monetisasi yang dianggap serakah oleh pemain.
- Destiny 2 menuntut pemain untuk terus mengeluarkan uang untuk menikmati konten terbaru dan DCV membuat Bungie menghapus sebagian konten dari DLC ekspansi yang sudah dibeli.
Dalam beberapa tahun terakhir, industri gaming banyak dikritik karena praktik monetisasi yang berlebihan. Harga game terus naik, tapi beberapa developer/publisher malah menambah beban pemain lewat DLC dan microtransaction yang terasa memaksa. Meski tidak semua bentuk monetisasi itu buruk, beberapa developer/publisher melangkah terlalu jauh sampai merusak reputasi mereka. Hal semacam itu sudah berulang kali terjadi di sepanjang sejarah industri gaming dan beberapa game berikut dikenal sebagai game dengan monetisasi yang paling tidak masuk akal.
1. The Sims 4
EA dikenal suka menerapkan sistem monetisasi yang aneh dan mahal dalam gamenya dan The Sims 4 adalah contoh sempurna. Game simulasi kehidupan ini pertama kali dirilis pada 2014 dan terus mendapatkan DLC ekspansi hingga yang terbaru yaitu Enchanted by Nature pada Oktober kemarin. Jika dijumlahkan, harga semua Expansion Pack, Game Pack, Stuff Pack dan Kit-nya mencapai US$1,354 atau sekitar Rp22,5 juta. Meski EA sempat membuat game dasarnya free-to-play sejak 2022, memainkan The Sims 4 tanpa DLC ekspansi terasa hambar karena kebanyakan fitur penting dan terbaik ada di dalam DLC berbayar itu.
2. Evolve
Evolve yang diperkenalkan pada 2014 langsung menarik perhatian karena konsepnya yang unik. Pada game ini, satu pemain menjadi monster raksasa, sementara empat pemain lain berperan sebagai pemburu yang harus menghabisinya. Sayangnya, reputasi game ini hancur sebelum dirilis akibat strategi monetisasi 2K yang dianggap serakah di mana monster, senjata hingga skin “dikunci” lewat bonus pre-order, season pass dan eksklusivitas konsol. Meski sempat menjadi free-to-play pada 2016, langkah itu tidak berhasil menghidupkan kembali minat pemain dan server-nya akhirnya resmi ditutup pada 2018.
3. Destiny 2
Seri Destiny dikenal karena sistem monetisasinya yang sering menuai kritik. Awalnya dipromosikan sebagai game RPG FPS multiplayer, seri tersebut kemudian berubah menjadi game live-service yang menuntut pemain untuk terus mengeluarkan uang untuk menikmati konten terbaru. Destiny 2 sendiri sejauh ini memiliki sembilan DLC ekspansi yang masing-masing memiliki harga yang masuk akal mengingat game dasarnya gratis. Namun, masalah muncul karena keberadaan Destiny Content Vault (DCV), sistem yang membuat Bungie menghapus sebagian konten dari DLC ekspansi yang notabene sudah pemain beli dan miliki.
4. Star Wars Battlefront 2
Star Wars Battlefront 2 sempat menjadi contoh paling buruk dari praktik monetisasi yang terlalu serakah di industri gaming. Ketika dirilis pada 2017, game FPS ini mendapat hujatan besar karena gameplay loop-nya terasa didesain agar membuka karakter seperti Darth Vader membutuhkan grinding selama ratusan jam. Secara tidak langsung pemain didorong untuk mengeluarkan uang sungguhan sebagai alternatif cepat. Parahnya lagi, EA juga menambahkan sistem loot box berisi hadiah acak yang bisa memberi keuntungan nyata di medan perang. Setelah dibanjiri kritik, EA akhirnya mencabut sistem microtransaction dan loot box tersebut.
5. Crash Team Racing: Nitro-Fueled
Crash Team Racing: Nitro-Fueled sebenarnya punya potensi untuk jadi salah satu game balap kart terbaik. Sayangnya, reputasinya rusak setelah Activision menambahkan microtransaction kurang dari sebulan setelah dirilis, padahal sebelumnya mereka berjanji tidak akan melakukannya di E3 2019. Meski semua karakter dan skin-nya bisa dibuka tanpa membayar, prosesnya sangat lama dan seolah memaksa pemain untuk membelinya uang sungguhan. Akhirnya, meski game remaster ini tetap solid secara gameplay, strategi monetisasi seperti itu membuatnya kehilangan daya tarik yang dimiliki game original-nya.
6. Call of Duty: Modern Warfare 3
Dalam beberapa tahun terakhir, seri Call of Duty sering dikritik karena praktik monetisasi yang berlebihan, tapi Call of Duty: Modern Warfare 3 jadi yang paling kontroversial. Mode campaign-nya sangat singkat, hanya sekitar tiga hingga empat jam yang seolah menunjukkan bahwa fokus utama Activision bukan lagi pada mode cerita, melainkan multiplayer. Parahnya lagi, game ini dipenuhi konten berbayar seperti Battle Pass, bonus pre-order dan microtransaction, padahal harga game dasarnya saja sudah cukup mahal. Akibatnya, banyak pemain merasa game ini dijual dengan harga penuh tapi diperlakukan layaknya game gratis yang penuh monetisasi.
7. FIFA 22
EA punya banyak seri game olahraga, tapi reputasinya rusak karena praktik monetisasi yang berlebihan. Contoh paling jelas ada di seri FIFA, terutama FIFA 22 yang memiliki mode Ultimate Team. Di mode itu, pemain bisa membentuk tim impian berisi bintang sepak bola terkenal. Namun untuk mendapatkannya, pemain harus membuka paket kartu yang isinya acak dan bisa dibeli dengan uang sungguhan, mirip se[erto sistem loot box di Star Wars Battlefront 2. Monetisasi seperti itu dianggap mendorong perilaku mirip judi dan menimbulkan kekhawatiran terutama bagi pemain yang masih anak-anak.
Itulah tadi ulasan mengenai beberapa game dengan monetisasi yang paling tidak masuk akal. Pernah menjadi korban monetisasi game-game di atas?


















