Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Game Online yang Salah saat Remaja Jadi Agresif?

ilustrasi PUBG Mobile
ilustrasi PUBG Mobile (unsplash.com/@amanz)
Intinya sih...
  • Game online pertempuran sering dianggap sebagai pemicu kekerasan
  • Visual keras dalam game bisa disalahpahami sebagai cerminan nyata, padahal sebenarnya memiliki nilai edukatif dan strategis.
  • Tidak semua orang memahami mekanisme game
  • Ketidaktahuan terhadap sistem permainan membuat orang mudah berasumsi bahwa aksi kekerasan di game otomatis menular ke dunia nyata.
  • Faktor psikologis lebih berpengaruh
  • Perilaku agresif remaja tidak lahir dari satu sumber tunggal, melainkan dipengaruhi oleh kondisi emosional, lingkungan keluarga, dan tekanan sosial.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kasus ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading baru-baru ini kembali memunculkan perdebatan soal dampak game online terhadap remaja. Pemerintah Indonesia berencana membatasi permainan seperti PUBG Mobile karena dianggap berpotensi memicu perilaku kekerasan. Isu ini memanas karena sebagian pihak mengaitkan tindakan berbahaya remaja pada game yang mereka mainkan.

Pandangan seperti ini mencerminkan pola pikir yang sudah berlangsung lama di banyak negara. Game online dianggap sebagai sumber masalah moral baru, seolah menjadi akar dari meningkatnya perilaku agresif. Padahal, penyebab perilaku kekerasan jauh lebih kompleks daripada sekadar efek bermain game.

1. Game online pertempuran sering dianggap sebagai pemicu kekerasan

PUBG Mobile di HP
PUBG Mobile di HP (unsplash.com/screenpost))

Game bertema pertempuran atau tembak-menembak tidak jarang disalahpahami karena menampilkan visual yang keras. Sebagian orang menilai aksi di layar sebagai cerminan nyata, bukan bentuk seni interaktif. Akibatnya, game kehilangan nilai edukatif dan strategis yang tersimpan di dalamnya.

2. Tidak semua orang memahami mekanisme game

ilustrasi mabar game konsol
ilustrasi mabar game konsol (unsplash.com/@samsungmemory)

Sebagian masyarakat mungkin menilai game online hanya dari permukaannya tanpa memahami sistem. Setiap permainan memiliki aturan, misi, dan tujuan yang justru melatih konsentrasi, kerja sama, serta pengendalian diri. Ketidaktahuan terhadap mekanisme ini membuat orang mudah berasumsi bahwa aksi kekerasan di game otomatis menular ke dunia nyata.

3. Faktor psikologis lebih berpengaruh

ilustrasi bermain game mobile
ilustrasi bermain game mobile (freepik.com/freepik)

Perilaku agresif remaja tidak lahir dari satu sumber tunggal. Kondisi emosional yang tidak stabil, lingkungan keluarga yang keras, dan tekanan sosial sering menjadi pemicu utama. Game justru sering menjadi pelarian bagi mereka yang mencari tempat aman untuk menyalurkan stres.

4. Kurangnya literasi digital di kalangan orang tua

ilustrasi bermain game esports
ilustrasi bermain game esports (unsplash.com/@elladon)

Beberapa orang tua tidak memahami cara kerja game modern yang kini menekankan strategi dan kolaborasi. Ketidaktahuan ini membuat mereka cepat menilai negatif tanpa mencoba berdialog atau terlibat dalam aktivitas anak. Padahal, kurangnya komunikasi semacam ini justru menciptakan jarak emosional dan memperbesar kesalahpahaman.

5. Game online bisa dijadikan sebagai ruang sosial baru

ilustrasi bermain game
ilustrasi bermain game (pexels.com/@alscre)

Bagi sebagian remaja, game bukan hanya hiburan tetapi juga ruang sosial untuk berinteraksi dan membangun relasi. Mereka belajar kerja sama tim, komunikasi, dan kepemimpinan lewat aktivitas online. Bahkan, game online sekarang bisa menjadi wadah untuk mengharumkan nama negara di kancah esports. Melihatnya semata-mata sebagai ancaman berarti menutup mata terhadap potensi pembelajaran yang ada di dalamnya.

6. Bukti riset berbeda dari anggapan umum

ilustrasi bermain game di HP
ilustrasi bermain game di HP (unsplash.com/@thisisgeipenko)

Berbagai penelitian internasional menunjukkan tidak ada hubungan langsung antara bermain game dan tindakan kekerasan di dunia nyata. Banyak gamer justru memiliki kemampuan kontrol emosi yang lebih baik karena terbiasa menghadapi tekanan dalam permainan. Fakta ini menantang anggapan lama bahwa game hanya menghasilkan perilaku brutal.

7. Edukasi dan literasi digital lebih dibutuhkan daripada sekadar membatasi

potret bermain game
potret bermain game (unsplash.com/@curtissberry)

Membatasi akses game tanpa edukasi hanya memindahkan masalah ke ruang lain. Pendekatan yang lebih tepat adalah membangun literasi digital dan kesadaran emosi sejak dini. Edukasi etika bermain dan keseimbangan waktu perlu ditekankan agar remaja bisa menikmati game secara sehat dan produktif.

Game online tidak seharusnya dijadikan kambing hitam atas perilaku remaja yang menyimpang. Melihat fenomena ini secara proporsional akan membantu masyarakat memahami bahwa teknologi tidak berbahaya selama digunakan dengan bijak. Bukan larangan yang dibutuhkan, melainkan pendidikan dan pendampingan yang penuh empati. Menurutmu, apakah pembatasan game online adalah solusi yang tepat?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us

Latest in Tech

See More

Mesin Pencari AI Sering Ambil Sumber dari Situs Kurang Populer?

13 Nov 2025, 08:52 WIBTech