Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah saat Ini Jaringan 4G Sudah Cukup atau 5G Perlu Dikejar?

Konektivitas 5G (unsplash.com/James Yarema)
Konektivitas 5G (unsplash.com/James Yarema)
Intinya sih...
  • Rudiantara menyatakan bahwa jaringan 4G masih memadai untuk masyarakat lapisan bawah.
  • Kecepatan unduh 5G mencapai 10-20 Gbps, dengan latensi di bawah 5 milidetik, dan menggunakan small cell towers.
  • 5G mendukung IoT, smart city, dan autonomous vehicles serta menjadi fondasi utama untuk transformasi digital.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Akhir-akhir ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah gencar melakukan berbagai inisiatif serta inovasi baru guna menciptakan ekosistem digital yang sehat sekaligus memperluas konektivitas internet ke seluruh pelosok Indonesia. Namun, di tengah fokus pemerintahan baru yang tengah bergeliat, mantan Menkominfo Rudiantara justru menyentil soal relevansi teknologi 5G. Sementara, Komdigi terus memperkuat kerja sama internasional untuk mendorong penetrasi jaringan 5G. Dari sini, muncul perbedaan pandangan yang mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam tingkat kepentingan dan penetapan skala prioritas nasional.

Melansir TEMPO, Rudiantara menilai bahwa jaringan 4G saat ini masih memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di lapisan bawah. Hal ini beliau sampaikan dalam forum Amartha Asia Grassroot Forum yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 22 Mei 2025. Ia menegaskan bahwa Indonesia belum memerlukan 5G secara luas karena saat ini teknologi tersebut lebih relevan untuk sektor korporasi. Di sisi lain, masyarakat umum masih belum menunjukkan minat besar terhadap layanan 5G, terutama karena tarifnya yang tergolong tinggi.

Pernyataan yang dilontarkan Rudiantara menyiratkan bahwa adopsi 5G belum menjadi kebutuhan mendesak bagi publik secara umum. Namun, Komdigi tetap melanjutkan upaya percepatan digitalisasi melalui berbagai langkah strategis. Ini termasuk peluncuran pita frekuensi 2,6 GHz, lelang spektrum radio, target kecepatan broadband mobile hingga 100 Mbps yang termaktub dalam RPJMN 2025–2029, serta perluasan konektivitas di sektor publik seperti pemerintahan, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, mengungkapkan bahwa cakupan sinyal 5G di Indonesia baru menjangkau sekitar 4,44 persen wilayah. Hal ini disampaikan melalui situs resmi Komdigi pada 23 April 2025. Padahal, layanan 5G telah diperkenalkan secara komersial sejak 24 Mei 2021 meski distribusinya belum merata. Lalu, bagaimana sebenarnya perbedaan antara 4G dan 5G? Apakah keunggulan teknis 5G memang cukup mendesak untuk segera diimplementasikan secara luas sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini? Mari simak pembahasannya berikut ini!

1. Kecepatan unduh 5G mencapai 10 Gbps hingga 20 Gbps

Menara jaringan 5G (commons.wikimedia.org/Fabian Horst)
Menara jaringan 5G (commons.wikimedia.org/Fabian Horst)

Salah satu daya tarik utama jaringan 5G yaitu potensi kecepatan unduh sangat tinggi, mencapai 10 hingga 20 Gbps dalam kondisi ideal. Angka ini jauh melampaui kecepatan maksimal 4G LTE yang hanya berkisar 100 Mbps. Dalam praktiknya, kecepatan rata-rata 5G lebih realistis berada di kisaran 1 hingga 3 Gbps. Pengguna bisa mengunduh film kualitas 4K dalam hitungan detik atau melakukan backup data ke cloud secara instan.

Kecepatan tinggi ini bukan sekadar soal kenyamanan. Dalam industri dan ekonomi digital, kemampuan transfer supercepat membuka ruang inovasi seperti real-time analytics, augmented reality (AR), hingga cloud gaming bebas lag. Di sektor logistik, proses pelacakan dan koordinasi jadi lebih efisien. Meski begitu, manfaat ini tetap perlu dikaji berdasarkan kebutuhan dan kesiapan infrastruktur, sebab tak semua wilayah memerlukan kecepatan setinggi itu untuk aktivitas harian.

2. Latensi 5G jauh lebih rendah dibanding 4G

ilustrasi tes kecepatan internet (unsplash.com/Mika Baumeister)
ilustrasi tes kecepatan internet (unsplash.com/Mika Baumeister)

Latensi adalah jeda waktu antara perintah dikirim dan respons diterima. Faktor ini dinilai krusial dalam jaringan seluler. Pada teknologi 4G, latensi umumnya berkisar 20 hingga 40 milidetik. Sebaliknya, teknologi 5G standalone (SA) mampu menurunkan latensi hingga di bawah 5 milidetik. Penurunan drastis ini berdampak besar pada pengalaman pengguna, terutama saat melakukan video call real-time, bermain gim daring, atau mengontrol perangkat mesin industri jarak jauh.

Di balik angka tersebut, latensi rendah menjadi fondasi penting bagi teknologi masa depan seperti mobil otonom, bedah jarak jauh, hingga sistem IoT berbasis waktu nyata. Dalam kendaraan otonom, keterlambatan beberapa milidetik bisa berarti selisih antara aman dan celaka. Meski begitu, sebagian besar aktivitas digital masyarakat seperti membuka media sosial atau menonton video tetap berjalan nyaman pada latensi 4G.

3. Perbedaan 4G dan 5G bisa juga dilihat dari jenis stasiun pemancar yang digunakan

Menara jaringan 5G (commons.wikimedia.org/Fabian Horst)
Menara jaringan 5G (commons.wikimedia.org/Fabian Horst)

Jaringan 4G mengandalkan menara seluler besar (macro cell towers) untuk menyebarkan sinyal dalam radius luas. Menara ini cukup efisien di wilayah berpenduduk rendah hingga sedang. Namun, seiring meningkatnya beban trafik dan kebutuhan akan kecepatan tinggi, arsitektur ini menjadi kurang optimal. Teknologi 5G membawa pendekatan baru melalui penggunaan small cell yakni perangkat pemancar kecil yang dipasang di tiang lampu, atap gedung, atau bahkan dalam ruangan.

Small cell menjadi solusi krusial untuk 5G, terutama saat memanfaatkan mmWave (millimeter wave) yang punya jangkauan terbatas dan daya tembus rendah. Sinyal mmWave tidak mampu menembus dinding atau benda padat secara efektif, sehingga banyak titik pemancar harus disebar dalam satu area kecil demi menjaga kualitas sinyal. Maka, penyebaran 5G menjadi lebih padat dan kompleks sehingga membutuhkan investasi infrastruktur jauh lebih besar dibanding generasi sebelumnya.

4. Pembagian dan pengkodean OFDM berpengaruh terhadap kecepatan transfer data dan kecepatan unduh 4G dan 5G

OFDM (Orthogonal Frequency-Division Multiplexing) (commons.wikimedia.org/EkkehardDomning)
OFDM (Orthogonal Frequency-Division Multiplexing) (commons.wikimedia.org/EkkehardDomning)

OFDM (Orthogonal Frequency-Division Multiplexing) merupakan metode pengkodean sinyal yang membagi sinyal menjadi beberapa subkanal sempit dalam satu spektrum lebar, sehingga transmisi data lebih efisien dan minim interferensi. Pada 4G LTE, lebar kanal berkisar antara 1,4 MHz hingga 20 MHz. Sedangkan 5G mampu menggunakan kanal jauh lebih lebar mulai dari 100 MHz hingga 800 MHz, 

Perbedaan kanal ini menjadikan 5G lebih unggul dalam hal transfer data, karena mampu mengangkut lebih banyak informasi secara bersamaan. Bayangkan kanal 4G seperti jalan dua jalur, sedangkan 5G seperti jalan tol delapan jalur. Semakin lebar kanal maka semakin besar volume data yang bisa melintas tanpa hambatan. Ini menjadi salah satu alasan utama mengapa kecepatan unduh 5G jauh mengungguli 4G.

5. Teknologi 5G mampu meningkatkan kepadatan sel (cell density)

Menara 4G (commons.wikimedia.org/Luis)
Menara 4G (commons.wikimedia.org/Luis)

Tantangan jaringan seluler modern bukan hanya soal kecepatan, tapi juga jumlah perangkat yang terhubung dalam satu area. 4G memang membawa peningkatan dari segi kapasitas, namun masih memiliki keterbatasan dalam menangani koneksi masif. Teknologi 5G menjawab kebutuhan ini melalui small cell dan kanal lebar yang memungkinkan peningkatan cell density (kepadatan sel) secara signifikan.

Peningkatan ini sangat penting di era Internet of Things (IoT), di mana setiap perangkat bisa terhubung langsung ke internet. Jaringan 5G dirancang untuk menopang jutaan koneksi per kilometer persegi tanpa penurunan kualitas. Ini menjadi fondasi penting bagi teknologi smart city, industri cerdas, hingga sistem transportasi digital. Namun, agar manfaatnya terasa merata, diperlukan kesiapan infrastruktur dan pemerataan akses teknologi di berbagai wilayah.

6. Kalau 5G belum merata, apakah perlu dikejar atau 4G saja sudah cukup?

ilustrasi persebaran jaringan internet di berbagai wilayah (freepik.com/rawpixel.com)
ilustrasi persebaran jaringan internet di berbagai wilayah (freepik.com/rawpixel.com)

Sebelum menjawab pertanyaan soal urgensi migrasi ke teknologi 5G, kita perlu menyamakan pemahaman terkait pentingnya konektivitas digital. Saat ini, Indonesia tengah mengejar dua visi besar yakni Visi Indonesia Emas 2045 dan Visi Indonesia Digital 2045. Visi Indonesia Digital 2045 bertumpu pada empat pilar utama yaitu infrastruktur, masyarakat, ekonomi, dan pemerintahan digital. Menurut Nezar Patria melalui laman resmi Komdigi (23 April 2025), Visi Indonesia Digital 2045 berperan sebagai kompas untuk mewujudkan Indonesia Emas.

Pilar pertama adalah infrastruktur digital. Pemerintah menargetkan seluruh wilayah pemukiman terhubung dengan internet berkecepatan tinggi yang idealnya mencapai 100 Gbps. Hal ini tercermin dari kolaborasi Komdigi dalam ekosistem seperti MASTEL yang dinilai sangat penting. Pada aspek masyarakat digital, Kementerian Komdigi mendorong peningkatan literasi agar masyarakat dapat aktif mengadopsi teknologi baru. Sementara di bidang ekonomi digital, pemerintah ingin memperkuat ekosistem berbasis teknologi, termasuk mendorong UMKM untuk go digital. Dalam pilar pemerintahan digital, fokusnya adalah mempercepat reformasi layanan publik agar mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat.

Namun demikian, capaian ini masih menyisakan beragam tantangan. Nezar mencatat bahwa cakupan 5G nasional baru mencapai 4,44 persen. Di sisi lain, layanan broadband tetap baru digunakan oleh 27,4 persen masyarakat. Kecepatan rata-rata broadband seluler pun masih di angka 29,5 Mbps. Angka ini jauh dari target 100 Mbps pada 2029. Bahkan, biaya broadband tetap saat ini menyentuh 6,1 persen dari PDB per kapita yang melampaui ambang batas 2 persen yang direkomendasikan ITU (International Telecommunication Union).

Migrasi ke 5G tidak bisa dipaksakan secara instan untuk semua lapisan masyarakat. Saat ini, jaringan 4G dinilai sudah cukup mendukung kebutuhan harian seperti streaming, media sosial, hingga belanja online. Kecepatan 4G (20–100 Mbps) masih bisa mengakomodasi aktivitas tersebut, sementara jangkauan infrastrukturnya lebih merata dibandingkan 5G.

Namun, untuk sektor-sektor strategis seperti Smart City, Internet of Things, dan autonomous vehicles, 5G merupakan kebutuhan mendesak. Kelebihan yang mencakup latensi di bawah 5 ms, kecepatan unduh hingga 20 Gbps, dan kapasitas koneksi tinggi menjadi fondasi utama untuk transformasi digital sejati. Misalnya, di bidang kesehatan yang memerlukan jaringan 5G untuk bedah jarak jauh (remote surgery), sementara di ranah manufaktur membutuhkannya untuk otomasi dan monitoring real-time.

Oleh karena itu, kebutuhan akan 5G harus dilihat dari berbagai aspek. Mulai dari kesiapan infrastruktur, kemampuan masyarakat, serta urgensinya di tiap sektor. Meskipun perangkat 5G semakin banyak beredar, manfaatnya tak akan terasa tanpa jaringan yang merata dan ekosistem pendukung yang matang. 5G membuka peluang baru di berbagai bidang seperti manufaktur, transportasi cerdas, layanan kesehatan jarak jauh, hingga pendidikan daring. Namun realitanya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengandalkan 4G, bahkan ada yang belum menikmati koneksi stabil.

Jika dilihat dari sisi teknis dan visi jangka panjang, 5G memang menjanjikan lompatan besar dalam konektivitas digital. Tapi jika ditimbang dari kondisi riil, pemerataan dan pemanfaatan 4G secara optimal masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Masih banyak wilayah-wilayah di Indonesia yang belum menikmati pemerataan akses internet. Pertanyaannya bukan hanya perlu atau tidak, tetapi juga siapa yang paling membutuhkan 5G saat ini? dan bagaimana memastikan tidak ada yang tertinggal dalam proses transformasi digital?

Maka dari itu, pendekatan pembangunan jaringan harus mempertimbangkan aspek keadilan dan keterjangkauan. Dalam transformasi digital, kecepatan tak akan bermakna tanpa adanya pemerataan. Konektivitas yang merata dan inklusif adalah fondasi utama menuju Indonesia Digital 2045 yang berdaya saing global.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us