5 Blunder Penggunaan Google Maps, Urusannya Nyawa!

- BMW terjun dari tol Krian-Gresik karena pengemudi mengandalkan Google Maps sepenuhnya tanpa kewaspadaan.
- Pengemudi terlalu fokus pada layar gawai dan tidak memperhatikan kondisi jalan yang sebenarnya belum tersambung.
- Ruas Tol Krian-Gresik masih dalam tahap pembangunan dan Google Maps menunjukkan jalur itu sebagai rute aktif, padahal belum bisa dilewati.
Kasus BMW terjun dari ujung Tol Krian-Gresik (KLBM) menjadi pengingat bahwa mengandalkan Google Maps sepenuhnya tanpa kewaspadaan bisa berujung petaka. Mobil yang dikemudikan MRH (62), warga Sememi, Surabaya dan ditemani oleh ESW (48), warga Wiyung, Surabaya, itu terbang sejauh 10 meter setelah mengikuti petunjuk arah dari aplikasi. Beruntung, dua penumpang hanya mengalami luka ringan.
Peristiwa tersebut terjadi malam hari saat sang sopir mengikuti arahan dari Google Maps yang menginstruksikan untuk terus lurus. Tanpa disadari, jalan yang dilalui sebenarnya belum tersambung dan justru berakhir di tepi jalan tol yang belum selesai. Mobil pun terbang sejauh 10 meter sebelum menghantam tanah.
Kejadian ini bukan hanya soal salah arah, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pengguna tidak awas dan saling ketergantungan penuh pada petunjuk digital bisa berdampak fatal di dunia nyata. Dari kejadian ini, ada lima pelajaran berharga yang bisa dicatat agar tidak mengulangi kesalahan serupa saat menggunakan Google Maps. Berikut adalah penjelasannya!
1. Terlalu fokus menatap layar tanpa melihat tanda-tanda fisik di sekelilingnya

Ketika berkendara, layar gawai atau head unit sering kali menjadi pusat perhatian. Banyak pengemudi yang terus-menerus memandangi petunjuk arah digital tanpa benar-benar memperhatikan kondisi jalan secara langsung. Dalam kasus BMW yang terjun dari ujung tol Krian-Gresik, kemungkinan besar pengemudi terlalu terpaku pada layar Google Maps yang mengarahkan untuk terus lurus hingga lupa mengamati realitas di depan mata bahwa jalan tersebut sebenarnya berakhir di ujung tol yang belum terhubung satu sama lain.
Kondisi ini memperlihatkan bagaimana manusia bisa kehilangan kesadaran situasional karena terlalu percaya pada teknologi. Peta digital tidak selalu bisa membaca rambu sementara, kondisi jalan rusak, atau akses yang belum dibuka. Padahal, tanda-tanda fisik seperti garis kuning penutup jalan, rambu “jalan belum selesai”, atau bahkan tekstur aspal yang masih kasar bisa menjadi peringatan penting. Terlalu lama menatap layar justru membuat pengemudi kehilangan naluri dan insting berkendara yang seharusnya menjadi benteng pertama keselamatan.
2. Mengabaikan rambu dan barrier fisik

Pada lokasi kejadian, sebenarnya sudah ada barrier yang menutup akses ke ujung tol yang belum tersambung. Namun karena terdapat celah kecil yang masih bisa dilalui satu mobil, pengemudi memilih untuk menerobosnya dengan dalih mengikuti arahan dari Google Maps. Keputusan ini tentu saja keliru dan membahayakan karena tentu barrier itu dipasang bukan tanpa alasan, melainkan sebagai penanda bahwa jalan tersebut belum aman digunakan.
Mengabaikan rambu dan penghalang fisik karena terlalu percaya pada sistem navigasi mencerminkan bagaimana keterlibatan teknologi bisa menggeser prioritas logika pengemudi. Celah di jalan belum tentu aman dilewati, apalagi jika tidak disertai rambu resmi. Dalam konteks ini, manusia selaku pengguna seharusnya tetap menjadi pengambil keputusan utama, bukan hanya pelaksana dari arahan digital yang bisa saja keliru atau belum diperbarui. Di sinilah pentingnya tetap kritis terhadap apa yang tampak di depan mata.
3. Mengikuti jalur yang belum resmi terhubung

Ruas Tol Krian-Gresik yang dilewati mobil BMW ternyata masih dalam tahap pembangunan dan masih belum tersambung ke Tol Manyar. Sayangnya, Google Maps tetap menunjukkan jalur itu sebagai rute aktif dan bisa dilewati. Tanpa adanya pembaruan data lapangan, sistem navigasi pun memproyeksikan rute berdasarkan peta konstruksi atau estimasi jalur, bukan berdasarkan akses yang benar-benar terbuka.
Ketika pengemudi mengikuti jalur semacam ini, mereka sebenarnya sedang mengandalkan “jalur hantu". Sebuah rute yang secara sistem ada, tetapi secara fisik belum bisa dilalui. Ini menjadi catatan bahwa peta digital bisa saja menampilkan rencana infrastruktur sebelum benar-benar dibuka untuk umum. Jadi, pengendara perlu lebih waspada terhadap jalur-jalur baru yang belum mereka kenal sebelumnya, bukan pasrah pada peta digital.
4. Kurangnya antisipasi navigator di malam hari

Insiden ini terjadi pada malam hari, 5 April 2025, tepat pukul 22:00 WIB, ketika pencahayaan minim dan jarak pandang terbatas. Dalam kondisi seperti ini, navigasi memang terasa lebih sulit. Namun, justru pada malam hari, kewaspadaan harus dilipatgandakan, baik oleh pengemudi maupun penumpang yang mendampingi (navigator). Sayangnya, banyak pengguna yang tetap mengandalkan Google Maps sebagai satu-satunya panduan tanpa dukungan pengamatan aktif dari orang di sebelah.
Navigator atau penumpang seharusnya aktif membaca situasi jalan dan membantu pengemudi dalam menilai jalur. Misalnya, dengan bertanya “itu jalan buntu nggak?” atau mengingatkan ketika ada keanehan seperti jalan yang tampak belum selesai. Di malam hari, sinyal visual dari rambu bisa sulit terlihat. Pada saat seperti inilah kerja sama antar manusia (bukan hanya mengandalkan aplikasi) yang jadi penentu keselamatan. Refleksi cahaya, minimnya penerangan, dan kondisi jalan bisa sangat menipu bila tidak diantisipasi dengan baik.
5. Tidak memanfaatkan fitur umpan balik atau peringatan yang tersedia di Google Maps

Google Maps sebenarnya menyediakan fitur untuk melaporkan rute yang salah, jalan yang belum bisa dilalui, hingga kondisi lalu lintas yang berbahaya. Namun, fitur ini sering diabaikan oleh pengguna. Bahkan, setelah mengalami pengalaman tidak menyenangkan, banyak orang hanya mengeluh di media sosial tanpa pernah mengirimkan umpan balik langsung ke sistem. Andai jalur berbahaya seperti ini pernah dilaporkan, kemungkinan besar Google akan segera memperbaikinya dalam sistem.
Jika saja pengguna yang pernah melihat jalan buntu atau kondisi tol belum selesai di jalur itu mau melaporkan lewat fitur yang ada, mungkin kasus mobil terjun ini bisa dicegah. Umpan balik bukan hanya tentang menyalahkan sistem, tetapi juga bentuk tanggung jawab kolektif. Pada akhirnya, keselamatan berkendara di era digital adalah hasil kerja sama antara teknologi, pengguna, dan lingkungan nyata. Fitur seperti “Laporkan masalah” atau “Rute salah” sangat berguna untuk menghindari insiden serupa di kemudian hari. Kamu sebagai pengguna punya peran penting dalam menjaga keakuratan peta digital demi keselamatan bersama.
Sekali lagi, Google Maps hanyalah sebagai alat bantu saja dan bukan penentu mutlak. Kasus mobil BMW yang terjun dari tol ini jadi pengingat bahwa naluri pengemudi dan kewaspadaan visual tetap nomor satu. Gunakan aplikasi navigasi secara bijak agar tidak tersesat atau celaka.
Berkendara bukan hanya soal mengikuti arah, tetapi juga membaca situasi, mengenali risiko, dan berani mengambil keputusan yang lebih bijak daripada sekadar terus-terusan fokus menatap layar smartphone. Pada akhirnya, keselamatan bukan hanya soal aplikasi yang pintar, tetapi juga tentang keputusan yang bijak saat berada di balik kemudi. Semoga insiden ini bisa menjadi pelajaran penting bagi kita semua! Stay safe and take care on the way!