Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cara OpenAI Atasi Deepfake dan Misinformasi Pemilu AS 2024

ilustrasi OpenAI (unsplash.com/Jonathan Kemper)
Intinya sih...
  • OpenAI menolak lebih dari 250 ribu permintaan untuk menghasilkan gambar deepfake tokoh politik, termasuk Donald Trump, Joe Biden, dan Kamala Harris.
  • OpenAI juga mengarahkan pengguna ke sumber informasi terpercaya seperti CanIVote.org dan situs berita terkenal untuk menghindari penyebaran informasi palsu.
  • Meskipun OpenAI telah berhasil melakukan langkah-langkah pencegahan, tantangan internal tetap ada dengan beberapa pengunduran diri eksekutif tingkat tinggi dalam masalah keselamatan AI.

Donald Trump kembali terpilih sebagai presiden Amerika Serikat setelah raih kemenangan dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024. Ia menyapu bersih 312 suara elektoral. Perolehan ini jauh melampaui 270 suara yang dibutuhkan untuk maju ke Gedung Putih.

Selama pelaksanaan Pemilu Presiden AS 2024, OpenAI, sebagai perusahaan teknologi terdepan, turut andil dengan berfokus pada pencegahan penyalahgunaan alat-alat AI seperti ChatGPT dan DALL-E untuk tujuan negatif, termasuk menyebarkan informasi palsu atau menciptakan konten deepfake yang bisa memengaruhi hasil pemilu.

Menghadapi tantangan besar ini, OpenAI mengimplementasikan berbagai langkah pengamanan, termasuk menangguhkan lebih dari 250 ribu permintaan untuk menghasilkan gambar deepfake yang melibatkan tokoh politik utama, termasuk Donald Trump selaku presiden terpilih.

Sebagai bagian dari strategi menyeluruh untuk menghindari penyalahgunaan alat AI mereka, OpenAI berupaya mencegah ChatGPT dan DALL-E digunakan untuk tujuan yang merugikan. Berikut adalah langkah-langkah yang berhasil diambil oleh OpenAI untuk mencegah penyalahgunaan sepanjang periode Pemilu Presiden AS 2024.

1. ChatGPT menolak lebih dari 250 ribu permintaan untuk menghasilkan gambar deepfake yang melibatkan tokoh politik penting

Perolehan suara hasil Pemilu Presiden AS 2024, Donald Trump meraup 312 suara elektoral (dok. Google)

OpenAI melaporkan bahwa alat AI ChatGPT menolak lebih dari 250 ribu permintaan untuk menghasilkan gambar deepfake yang melibatkan tokoh politik penting, termasuk Presiden AS ke-46 Joe Biden, Donald Trump, Kamala Harris, Mantan Wakil Presiden Mike Pence, dan Gubernur Minnesota Tim Walz. Angka yang sangat besar ini menunjukkan tantangan dalam menjaga agar konten yang dihasilkan AI tetap terkendali, terutama dalam lingkungan politik yang penuh tekanan. Perusahaan mengaitkan keberhasilan ini dengan langkah-langkah keselamatan yang mencegah ChatGPT menghasilkan gambar yang melibatkan orang nyata, termasuk politisi, sebagai bagian dari upayanya yang lebih luas untuk menghindari konten yang berbahaya atau menyesatkan.

Langkah ini adalah bagian dari strategi yang telah diluncurkan OpenAI sepanjang 2024 dalam mempersiapkan pemilu presiden. Selain membatasi deepfake, OpenAI juga berupaya memastikan bahwa alat AI mereka tidak digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah. Salah satu inisiatif utama adalah mengarahkan pengguna yang mencari informasi terkait pemilu ke sumber tepercaya, seperti CanIVote.org, sebuah situs nonpartisan yang dirancang untuk memberikan informasi kepada pemilih mengenai prosedur pemilu. Sebulan menjelang pemilu, ChatGPT berhasil mengarahkan lebih dari 1 juta orang ke situs ini.

2. Perjuangan melawan deepfake terkait konten Pemilu AS masih berlanjut

Potret Kamala Harris, Wakil Presiden terpilih Amerika Serikat (x.com/@KamalaHarris)

Langkah-langkah yang diambil oleh OpenAI mencerminkan dorongan yang lebih luas di dalam industri teknologi untuk mengatasi masalah penipuan yang disebabkan oleh AI. Meski upaya OpenAI untuk mengurangi penyebaran deepfake patut dicontoh, deepfake masih marak beredar di media sosial dan platform lainnya. Misalnya, ada deepfake yang menampilkan Kamala Harris yang dimodifikasi sehingga tampak seperti dia mengucapkan pernyataan kontroversial dan palsu, seperti "I was selected because I am the ultimate diversity hire (Saya dipilih karena saya adalah pegawai keragaman terbaik)." Video-video yang dimodifikasi semacam ini berkontribusi pada penyebaran disinformasi yang berpotensi merusak kepercayaan publik dan memengaruhi perilaku pemilih.

Kekhawatiran yang meningkat tentang deepfake juga menarik perhatian raksasa teknologi lainnya. YouTube, misalnya, mengonfirmasi bahwa mereka sedang mengerjakan dua alat deteksi deepfake untuk membantu pembuat konten menemukan video yang menggunakan salinan wajah atau suara mereka tanpa izin. Begitu juga Gubernur California Gavin Newsom telah menandatangani tiga undang-undang baru yang bertujuan membatasi penyebaran deepfake, termasuk kriminalisasi penggunaan konten berbasis AI yang dimaksudkan untuk memengaruhi pemilu. Langkah-langkah legislatif ini mencerminkan pengakuan yang semakin besar bahwa teknologi AI perlu diatur dengan hati-hati, terutama dalam konteks politik yang sensitif.

3. Pengendalian misinformasi dan panduan pemilih selama hari H Pemilu

Tampilan situs Can I Vote (nass.org)

Selain mencegah deepfake, OpenAI juga berusaha aktif membimbing pemilih menuju informasi yang akurat dan tidak memihak. Selama sebulan menjelang pemilu, ChatGPT mengarahkan lebih dari satu juta pengguna ke situs CanIVote.org untuk memberikan panduan netral mengenai kelayakan memilih dan masalah administratif terkait. Selain itu, pada hari pemilu, ChatGPT menghasilkan dua juta respons yang mengarahkan pengguna ke sumber berita terpercaya, seperti Reuters dan Associated Press, untuk menyiarkan hasil pemilu secara real-time.

ChatGPT juga mengikuti pedoman ketat untuk memastikan bahwa jawabannya tidak mencerminkan preferensi politik. Bahkan, ketika pengguna secara eksplisit meminta rekomendasi atau opini mengenai calon politik, ChatGPT menghindari memberikan dukungan. Pendekatan ini dirancang untuk menjaga integritas alat OpenAI yang memastikan netralitas politik dan tidak ikut berkontribusi pada polarisasi yang sering terjadi dalam diskusi politik.

4. Meski ada kemajuan dalam upaya melindungi dari deepfake, strategi OpenAI kerap dihadapkan pada tantangan

ilustrasi logo Voted (unsplash.com/Element5 Digital)

Meski ada kemajuan dalam upaya melindungi dari deepfake, strategi OpenAI kerap dihadapkan pada tantangan internal. Perusahaan ini telah kehilangan sejumlah eksekutif tingkat tinggi dalam masalah keselamatan AI dalam beberapa bulan terakhir. Ini termasuk Lilian Weng, Wakil Presiden Riset, salah satu pendiri Ilya Sutskever dan mantan Kepala Keamanan AI Jan Leike.

Pengunduran diri ini menimbulkan pertanyaan tentang arah masa depan OpenAI. Potensi dampaknya terkait pada upaya perusahaan untuk memastikan bahwa AI tetap aman dan selaras dengan standar etika. Meski tantangan ini ada, fokus OpenAI untuk mencegah alat-alat mereka digunakan untuk tujuan berbahaya selama musim pemilu mencerminkan komitmen perusahaan untuk melindungi proses demokratis dan membangun kepercayaan terhadap teknologi AI.

Seiring berjalannya waktu, peran AI membentuk wacana publik dan memengaruhi hasil politik akan terus berkembang. Upaya proaktif OpenAI, seperti menolak permintaan deepfake dan mengarahkan pengguna ke sumber yang terpercaya, merupakan bagian penting dari upaya untuk melindungi integritas pemilu. Namun, perjuangan melawan deepfake dan misinformasi belum selesai. Seiring dengan semakin canggihnya teknologi deepfake, akan diperlukan pengawasan yang terus-menerus dan kolaborasi antara perusahaan teknologi, regulator, dan masyarakat untuk memastikan bahwa AI digunakan secara bertanggung jawab dan etis.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Reyvan Maulid
EditorReyvan Maulid
Follow Us