Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ironi Pemblokiran Internet Archive, Apa, sih, yang Disembunyikan? 

Logo Internet Archive (web.archive.org)
Logo Internet Archive (web.archive.org)
Intinya sih...
  • Kementerian Komunikasi dan Digital memutus akses ke Internet Archive dan Wayback Machine, menyebabkan ketidakjelasan alasan pemblokiran.
  • Pemutusan akses ini menimbulkan dugaan penyensoran digital yang melanggar prinsip good governance dan hak digital masyarakat.
  • Pemblokiran Internet Archive dapat melanggar hak konstitusional warga negara atas akses informasi, serta erosi terhadap nilai-nilai demokrasi digital.

Langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memutus akses ke situs pengarsipan Internet Archive dan fitur Wayback Machine per 26 Mei 2025 menuai tanda tanya besar. Padahal, situs ini dikenal sebagai perpustakaan digital yang menyediakan akses gratis ke berbagai konten, mulai dari buku hingga halaman web yang telah diarsipkan. Sampai detik ini pun, situs ini juga tidak bisa diakses tanpa ada alasan yang jelas. 

Penulis mencoba mengakses situs archive.org menggunakan jaringan seluler. Hasilnya, muncul peringatan “your connection is not private”. Namun, setelah diakses menggunakan VPN, situs ini baru berhasil dibuka. Jelas, ini bukan kesalahan teknis. Ini merupakan bentuk pemblokiran sistematis.

Luar biasa memang. Situs edukatif seperti Internet Archive saja diblokir. Apakah pemerintah tidak menyadari bahwa keberadaan Internet Archive sangat vital bagaikan separuh nyawanya Wikipedia? Hampir tiap referensi yang dirujuk oleh Wikipedia tersimpan dalam arsip digital ini. Apakah mereka tak sadar bahwa mahasiswa, peneliti, dan terutama mereka yang bergelut di dunia sejarah, kini semakin kesulitan mengakses literatur penting. Kira-kira apa, sih, yang disembunyikan? Simak penjelasannya berikut! 

1. Pemutusan akses archive.org sudah tampil di data pemblokiran Trust Positif Komdigi

pemutusan akses archive.org sudah tampil di data pemblokiran Trust Positif Komdigi (trustpositif.komdigi.go.id)
pemutusan akses archive.org sudah tampil di data pemblokiran Trust Positif Komdigi (trustpositif.komdigi.go.id)

Per 28 Mei 2025 pukul 16.04 WIB, penulis menelusuri situs Trust Positif milik Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Hasilnya, situs archive.org telah resmi masuk dalam daftar situs yang diblokir. Artinya, pemutusan akses ini memang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah.

Yang menjadi tanda tanya besar adalah tidak ada alasan transparan yang disampaikan ke publik soal mengapa situs nirlaba yang menyimpan miliaran arsip ini harus diputus aksesnya. Lantas, apa yang sebenarnya sedang disembunyikan? Apakah ada arsip-arsip tertentu di Wayback Machine yang dianggap terlalu sensitif untuk diakses publik? Apakah ada kekhawatiran bahwa masyarakat bisa “melihat kembali” sesuatu yang tak ingin diingat?

Tanpa penjelasan terbuka dari pihak Komdigi maupun penyedia internet, publik hanya bisa menduga-duga. Satu hal yang pasti, pemblokiran situs Internet Archive menyentuh akar dari persoalan literasi digital kita dan membuka mata soal akses terhadap pengetahuan. Bagi mahasiswa, peneliti, jurnalis, hingga masyarakat umum, Internet Archive adalah harta karun selayaknya rumah bagi miliaran arsip yang tak lagi tersedia di web.

Menutup akses ini berarti sama saja mengubur ulang pengetahuan. Ironisnya, semua ini terjadi ketika pemerintah gencar bicara soal transformasi digital, kecerdasan buatan (AI), dan inovasi teknologi. Lalu, bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk cerdas digital jika pintu belajarnya justru dikunci?

2. Pemblokiran akses diduga melanggar UU ITE Nomor 19 Tahun 2016, Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, dan UU ITE Nomor 1 Tahun 2024

ilustrasi mulut dibungkam (unsplash.com/Gama. Films)
ilustrasi mulut dibungkam (unsplash.com/Gama. Films)

Pemutusan akses terhadap situs seperti Internet Archive seharusnya tidak dilakukan secara semena-mena tanpa penjelasan yang transparan dan dasar hukum yang kuat. Dalam Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016, memang disebutkan bahwa pemerintah "wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang". Namun, pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa "pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum, sesuai peraturan perundang-undangan." Artinya, jika tidak ada muatan melanggar hukum seperti pornografi, perjudian, atau konten radikal yang telah terbukti secara hukum, maka pemutusan akses berpotensi menyalahi asas kehati-hatian dan potensi penyalahgunaan wewenang.

Tak berhenti di situ, Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 secara rinci mengatur bahwa pemutusan akses harus dilakukan melalui prosedur administratif, termasuk bukti berupa tangkapan layar, URL spesifik, dan alasan pemutusan yang jelas. Tidak adanya penjelasan publik dari Komdigi mengenai alasan pemblokiran Internet Archive menimbulkan dugaan bahwa prosedur formal dan prinsip akuntabilitas tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pemblokiran tidak hanya menjadi tindakan yang meragukan secara hukum, tapi juga menciderai prinsip good governance dan hak digital masyarakat untuk mengakses sumber daya informasi yang legal, bermanfaat, dan edukatif. Jika dibiarkan, tindakan seperti ini bisa menjadi preseden berbahaya bagi kebebasan digital di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan pembaruan terbaru melalui UU ITE Nomor 1 Tahun 2024? Kita bisa temukan jawabannya di pasal 27. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa hanya menyasar konten yang secara jelas dan terbukti mengandung muatan melanggar kesusilaan atau perjudian. Tidak ada pasal yang menyebut bahwa situs perpustakaan digital seperti Internet Archive masuk dalam kategori tersebut. Maka, jika tidak ada proses hukum yang transparan atau penjelasan resmi yang disampaikan kepada publik, pemblokiran ini bukan hanya cacat prosedural, tetapi juga berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara atas akses informasi, dan membuka ruang praktik sensor yang melampaui batas akal sehat. 

Internet Archive justru bertujuan menyediakan akses pengetahuan yang universal, menyimpan salinan digital dari miliaran halaman web, buku, film, dan rekaman budaya yang sudah langka atau bahkan telah dihapus dari internet. Memblokirnya tanpa alasan jelas dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap semangat keterbukaan informasi dan kebebasan digital. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, tindakan ini dapat dianggap bertentangan dengan prinsip due process of law, bahkan rawan dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU itu sendiri. Maka wajar jika publik bertanya-tanya. Apakah ini bentuk penyalahgunaan regulasi untuk menyembunyikan sesuatu?

3. Praktik penyensoran semakin merenggut hak-hak digital di Indonesia

Situs Internet Archive tidak bisa diakses (dok.pribadi/Reyvan Maulid)
Situs Internet Archive tidak bisa diakses (dok.pribadi/Reyvan Maulid)

Pemblokiran terhadap Internet Archive hanyalah salah satu contoh terbaru dari praktik penyensoran digital yang semakin marak di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah situs telah diblokir atas dasar “konten negatif” yang sering kali tidak jelas batasannya. Isunya bukan lagi semata soal pengelolaan konten digital, tetapi sudah masuk ke ranah hak konstitusional warga negara dan kebebasan sipil yakni hak memperoleh informasi, hak untuk belajar, mengakses data, dan berbagi pengetahuan.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E ayat (3) dengan tegas menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Lebih lanjut, Pasal 28F menegaskan bahwa "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia." Jika demikian, bukankah situs seperti Internet Archive justru merupakan bentuk nyata dari saluran informasi yang seharusnya dilindungi?

Internet Archive adalah salah satu pustaka digital paling luas di dunia. Ia menyimpan arsip halaman web, buku, dokumen publik, hingga rekaman sejarah yang selama ini menjadi rujukan penting dalam pendidikan, riset, dan kebebasan berekspresi. Pemutusan akses tanpa penjelasan resmi yang transparan kepada publik tak ubahnya seperti menyegel perpustakaan di dunia nyata. Padahal, di era digital ini, informasi adalah oksigen peradaban. Ketika salurannya ditutup sepihak, kita bukan hanya kehilangan akses, tetapi juga sedang melihat erosi terhadap nilai-nilai demokrasi digital yang dijunjung tinggi oleh konstitusi itu sendiri.

Ini bukan soal membela satu situs, tapi membela hak publik untuk tahu. Ketika ruang-ruang digital mulai disumbat tanpa penjelasan yang transparan, kita patut bertanya. Masih adakah ruang bebas dan adil untuk berpikir, mencari tahu, dan berkembang di negeri ini? Yang sedang diperjuangkan bukan hanya akses ke satu situs, tetapi prinsip dasar kebebasan berekspresi dan hak atas literasi digital yang semestinya dijamin, bukan dibatasi. Apakah pemerintah masih menjamin amanat konstitusi atau justru tengah melanggarnya secara diam-diam?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us