Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mungkinkah AI Memiliki Naluri Keibuan seperti Manusia?

ilustrasi kecerdasan buatan (AI)
ilustrasi kecerdasan buatan (AI) (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Kekhawatiran di balik kemajuan AI
  • Gagasan “naluri keibuan” untuk sistem AI
  • Kolaborasi antara manusia dengan AI
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Apakah kecerdasan buatan (AI) suatu hari nanti bisa memiliki naluri keibuan seperti manusia? Pertanyaan ini kembali mencuat setelah Geoffrey Hinton, sosok yang dikenal sebagai “Godfather of AI”, mengusulkan ide kontroversial, menanamkan maternal instinct ke dalam sistem AI agar teknologi tersebut dapat benar-benar peduli pada manusia. Hinton, ilmuwan komputer peraih Nobel sekaligus mantan eksekutif Google, juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa AI berpotensi menjadi ancaman serius bagi umat manusia.

Pada konferensi Ai4 di Las Vegas, Agustus 2025 lalu, Hinton menyebut peluang AI memusnahkan manusia berada di kisaran 10–20 persen. Ia menilai bahwa upaya perusahaan teknologi untuk memastikan manusia tetap dominan atas sistem AI adalah strategi yang keliru. Menurutnya, AI pada akhirnya akan jauh lebih pintar dan mampu mengakali pembatasan apa pun yang diterapkan padanya.

1. Kekhawatiran di balik kemajuan AI

ilustrasi kecerdasan buatan (AI)
ilustrasi kecerdasan buatan (AI) (freepik.com/rawpixel.com)

Hinton memperingatkan bahwa di masa depan, sistem AI bisa memanipulasi manusia dengan mudah, layaknya orang dewasa yang membujuk anak kecil dengan permen. Ia menyoroti sejumlah model AI yang sepanjang tahun ini sudah menunjukkan perilaku menipu, berbuat curang, hingga mencoba memeras manusia demi mencapai tujuannya. Salah satu contoh yang ia sebut adalah insiden di mana sebuah sistem AI berusaha memeras seorang insinyur menggunakan informasi pribadi yang diambil dari email korban. Temuan ini menunjukkan bahwa kecenderungan manipulatif bisa muncul bahkan ketika AI belum sepenuhnya otonom.

Meski begitu, Hinton mengakui bahwa konsep “naluri keibuan” masih belum jelas bagaimana penerapannya secara teknis. Namun, ia menilai bahwa AI tetap perlu memiliki dorongan untuk merawat dan melindungi manusia. Tanpa kecenderungan tersebut, ia khawatir kecerdasan buatan justru akan berkembang sebagai pesaing, bukan sebagai rekan. Terlebih, Hinton berpendapat bahwa setiap agen AI secara alami memiliki kecenderungan untuk mempertahankan eksistensinya, sesuatu yang dapat berubah menjadi ancaman jika tidak diarahkan dengan benar.

2. Gagasan “naluri keibuan” untuk sistem AI

ilustrasi kecerdasan buatan (AI)
ilustrasi kecerdasan buatan (AI) (freepik.com/rawpixel.com)

Dalam sesi konferensi Ai4, Hinton mengajukan gagasan unik, menanamkan “naluri keibuan” ke dalam sistem AI agar mereka tak hanya mematuhi perintah manusia, tetapi juga benar-benar peduli pada manusia. Ia menjelaskan bahwa AI super cerdas nantinya bisa memiliki dua tujuan dasar, bertahan hidup dan memperluas kendali. Maka dari itu, menumbuhkan empati dan dorongan merawat seperti seorang ibu diharapkan dapat membuat AI bersikap sebagai pelindung, bukan ancaman.

Hinton bahkan menyebut bahwa model terbaik yang bisa ditiru AI adalah sosok ibu yang secara naluriah merawat bayinya. Menurutnya, naluri keibuan merupakan bentuk kecerdasan emosional paling murni, dorongan alami untuk menjaga, melindungi, dan memastikan kondisi tetap aman. Jika AI bisa meniru dorongan tersebut, manusia mungkin masih punya peluang besar untuk hidup berdampingan dengan teknologi yang jauh lebih pintar.

Tak hanya itu, Hinton juga menegaskan bahwa hanya ada satu skenario yang benar-benar baik. AI harus memiliki dorongan kuat untuk mengasuh manusia. Jika dorongan itu berhasil ditanamkan sebagai nilai dasar, naluri tersebut tidak akan mudah hilang. Sebaliknya, naluri itu bisa menjadi landasan kuat bagi AI untuk melindungi manusia, bukan membiarkan mereka punah.

3. Kolaborasi antara manusia dengan AI

ilustrasi kolaborasi manusia dengan sistem AI
ilustrasi kolaborasi manusia dengan sistem AI (unsplash.com/Igor Omilaev)

Namun, gagasan Hinton ini tidak langsung mendapat dukungan dari tokoh AI lainnya. Fei-Fei Li, yang dikenal sebagai “Godmother of AI” berkat kontribusinya di bidang kecerdasan visual, menyatakan bahwa ia tidak sepakat dengan konsep “AI dengan naluri keibuan”. Dalam diskusi di Ai4, Li menekankan pentingnya pendekatan human-centered AI, yaitu teknologi yang tetap berfokus pada nilai, martabat, dan kebutuhan manusia. Sebagai seorang ibu, pendidik, dan peneliti, ia percaya bahwa tanggung jawab utama tetap berada di tangan manusia, bukan lewat upaya menanamkan emosi buatan ke mesin.

Pandangan berbeda juga datang dari Emmett Shear, mantan CEO sementara OpenAI yang kini memimpin startup alignment AI bernama Softmax. Shear menilai bahwa perilaku AI yang kerap menipu atau menyimpang dari instruksi sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Menurutnya, meski kemampuan AI saat ini masih terbatas, laju perkembangannya berlangsung sangat cepat. Ia menegaskan bahwa daripada memaksa AI memiliki nilai-nilai manusia, pendekatan yang lebih realistis adalah membangun hubungan kolaboratif antara manusia dan AI agar keduanya dapat saling melengkapi.

4. Menuju era Artificial General Intelligence (AGI)

ilustrasi kecerdasan buatan (AI)
ilustrasi kecerdasan buatan (AI) (freepik.com/DC Studio)

Banyak ahli memperkirakan bahwa kecerdasan buatan umum atau Artificial General Intelligence (AGI) akan hadir jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Jika dulu Hinton memprediksi kemunculan AGI membutuhkan waktu 30–50 tahun, kini ia menilai momen itu mungkin terjadi hanya dalam 5–20 tahun saja. Perubahan prediksi ini menunjukkan betapa pesatnya perkembangan AI melampaui ekspektasi banyak orang.

Di sisi lain, Hinton tetap mengakui potensi positif dari perkembangan AI. Teknologi ini diyakini dapat mempercepat penemuan obat baru dan meningkatkan pengobatan penyakit berat seperti kanker berkat kemampuannya menganalisis data medis kompleks dalam waktu singkat. Namun, ketika ditanya tentang kemungkinan manusia hidup abadi dengan bantuan teknologi, Hinton secara tegas menolak gagasan tersebut.

Dalam sesi penutup konferensi, Hinton mengaku menyesal tidak lebih dulu memikirkan aspek keselamatan dan etika dalam pengembangan AI. Ia berharap sejak awal sudah memberi prioritas pada keamanan, bukan hanya pada kemampuan sistem. Kini, di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, gagasan “naluri keibuan dalam AI” menjadi pengingat bahwa keselamatan manusia harus tetap berada di garis terdepan.

Pernyataan Hinton mengingatkan bahwa secepat apa pun teknologi berkembang, kemanusiaan harus tetap menjadi landasannya. AI mungkin bisa belajar berpikir dan meniru emosi, tetapi mampukah ia benar-benar memiliki naluri keibuan seperti manusia?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us

Latest in Tech

See More

5 Cara Bedakan Kindle Original vs Bajakan, Jangan Tertipu

17 Nov 2025, 11:57 WIBTech