Studio Jepang Protes OpenAI: 'Stop Pakai Konten Kami untuk Latih AI'

- Output Sora 2 kental gaya IP JepangCODA menemukan kemiripan output Sora 2 dengan karakter atau konten Jepang terkenal seperti Pokémon, Mario, One Piece, Dragon Ball, dan Demon Slayer.
- Pendekatan opt-out OpenAI dinilai melanggar aturan JepangSistem opt-out yang diterapkan OpenAI dianggap melanggar undang-undang hak cipta yang berlaku di Jepang menurut CODA.
- Tren Ghiblified juga pernah picu kontroversiSebelum munculnya Sora 2, tren pengguna membuat ulang foto dalam gaya Studio Ghibli telah memicu ketidaksetujuan dari Hayao Miyazaki.
Organisasi pemegang kekayaan intelektual (IP) Jepang melayangkan protes kepada OpenAI terkait model video AI generatif Sora 2. Tuntutan ini dilayangkan Content Overseas Distribution Association (CODA) setelah menemukan bahwa banyak output yang dihasilkan Sora 2 menyerupai konten Jepang. CODA menilai bahwa replikasi karya berhak cipta selama proses pelatihan AI dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, karena dilakukan tanpa izin.
Tindakan ini diambil demi melindungi aset digital mereka dari penyalahgunaan teknologi AI yang masif dan tanpa batas. CODA, yang mewakili perusahaan besar seperti Studio Ghibli, meminta OpenAI segera menghentikan penggunaan konten anggota mereka sebagai data pelatihan. Polemik hak cipta ini menambah daftar gesekan antara industri kreatif dan raksasa teknologi AI.
1. Output Sora 2 kental gaya IP Jepang

CODA, organisasi yang didirikan untuk memerangi pembajakan dan mempromosikan konten Jepang ke mancanegara, mengonfirmasi adanya kemiripan mencolok antara hasil output Sora 2 dan karakter atau konten Jepang. Organisasi ini berpendapat bahwa kemiripan konten tersebut menjadi bukti bahwa karya-karya studio Jepang telah digunakan sebagai data machine learning (ML) OpenAI tanpa persetujuan. Dalam kasus seperti Sora 2, di mana karya berhak cipta direproduksi serupa sebagai output, tindakan replikasi saat proses pelatihan ML sudah dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
Setelah peluncuran Sora 2 pada 30 September 2025, media sosial memang langsung heboh dengan klip video AI yang menyerupai karakter-karakter dari IP Jepang terkenal. Karakter populer seperti Pokémon, Mario, One Piece, Dragon Ball, dan Demon Slayer seringkali muncul dalam video yang dihasilkan Sora 2. Dalam blog-nya, CEO OpenAI Sam Altman bahkan mengakui kalau konten dan karakter studio Jepang menjadi favorit para pengguna Sora.
CODA sendiri mewakili perusahaan-perusahaan besar pembuat film, anime, musik, video game, hingga penerbitan di Jepang. Beberapa anggota yang diwakili CODA termasuk Studio Ghibli, Bandai Namco, Toei Animation dan Square Enix, yang mana IP mereka menjadi sasaran utama replikasi oleh AI. Keberadaan CODA yang didirikan atas permintaan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang ini memiliki bobot kuat dalam mewakili kepentingan industri.
CODA pun mengajukan dua permintaan utama, salah satunya adalah menuntut agar konten anggotanya tidak lagi digunakan untuk melatih Sora 2 tanpa izin terlebih dahulu. Mereka juga meminta agar OpenAI menanggapi dengan serius semua klaim dan pertanyaan dari anggota CODA terkait pelanggaran hak cipta yang berhubungan dengan output Sora 2. Permintaan ini diajukan agar perlindungan hak kreator terjamin seiring dengan perkembangan AI yang sehat.
2. Pendekatan opt-out OpenAI dinilai melanggar aturan Jepang

Titik keberatan utama yang diajukan CODA menyangkut sistem penanganan hak cipta oleh OpenAI, yakni melalui sistem opt-out. Sistem opt-out mengharuskan pemegang hak cipta untuk proaktif memberi tahu OpenAI jika mereka tidak ingin karyanya digunakan untuk melatih model AI. CODA memperingatkan bahwa pendekatan ini berpotensi melanggar undang-undang hak cipta yang berlaku di Jepang, dilansir The Verge.
CODA menjelaskan, menurut sistem hak cipta di Jepang, izin awal atau prior permission wajib diperoleh sebelum penggunaan karya berhak cipta dilakukan. Dengan kata lain, tidak ada mekanisme yang memungkinkan seseorang menghindari tanggung jawab pelanggaran hanya dengan keberatan yang diajukan di kemudian hari. Oleh karena itu, OpenAI dinilai sudah melanggar hak cipta IP Jepang saat mereka menjadikan konten tersebut sebagai data pelatihan tanpa adanya persetujuan.
Meskipun Sam Altman sebelumnya menyatakan bahwa perusahaan akan memberikan kontrol kepada pemegang hak cipta, konflik hukum tetap mencuat. Sebelumnya, Kantor Kabinet Jepang bahkan telah meminta OpenAI untuk menahan diri dari melanggar IP Jepang berhak cipta. Namun, hukum di Amerika Serikat (AS) sendiri diketahui belum mengatur jelas penggunaan materi berhak cipta untuk pelatihan AI.
3. Tren Ghiblified juga pernah picu kontroversi

Kontroversi penggunaan gaya konten Jepang oleh produk AI generatif OpenAI sudah terlihat sejak lama, sebelum munculnya Sora 2. Saat model pembuat gambar ChatGPT dirilis, muncul tren di kalangan pengguna yang membuat ulang foto atau selfie mereka dalam gaya khas Studio Ghibli, yang dikenal sebagai "Ghiblified." Bahkan, Sam Altman ikut mengganti foto profil X-nya dengan potret bergaya Ghibli dan bergabung dengan tren ini.
Namun, antusiasme pengguna ini sangat kontras dengan sentimen dari figur kunci di balik Studio Ghibli, Hayao Miyazaki. Salah satu pendiri studio pemenang penghargaan ini telah lama tercatat pernah menyatakan ketidaksetujuan yang terhadap animasi buatan AI. Meskipun belum mengomentari langsung tren Ghiblified, Miyazaki pernah meluapkan rasa jijiknya saat ditunjukkan animasi 3D buatan AI pada 2016.
“Saya benar-benar merasa jijik. Saya merasa bahwa ini adalah penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri,” kata Miyazaki, seperti dikutip oleh TechCrunch.
Melalui protes ini, CODA berharap OpenAI segera merespons tuntutan ini secara serius demi memastikan hak cipta para kreator dihormati. Kontroversi Sora 2 menjadi alarm keras bagi industri AI bahwa inovasi harus berjalan seiring dengan kepatuhan hukum dan etika, terutama di industri kreatif yang sangat terdampak.


















