Refleksi dari Walking Tour di Puri Pemecutan, Hidup Adalah Perjuangan

Kota Denpasar merupakan jantung pemerintahan dan perekonomian di Provinsi Bali. Layaknya ibu kota pada umumnya, Denpasar punya daya tarik tersendiri bagi para pendatang dari kabupaten lain. Para pendatang ini berani melangkahkan kaki di Denpasar karena punya tekad kuat untuk mengepulkan asap dapur di rumah tangganya.
Saking kerasnya berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, luput untuk melihat sisi lain Denpasar. Melalui aktivitas Walking Tour yang diselenggarakan IDN Community bersama dengan Kultara, setiap dari kita bisa belajar tidak hanya tentang Denpasar, melainkan perjuangan dalam hidup. Bagaimana bisa?
1. Kebangkitan transportasi tradisional di Bali

Terminal Tegal Sari menjadi titik kumpul sekaligus destinasi yang pertama dijajaki dalam Walking Tour. Oleh tour guide dari Kultara, I Gede Made Jodi Swantara, kami diajak mencoba dokar. Dokar merupakan transportasi tradisional Bali era 1960 hingga 1970an.
Pada masa kejayaannya tersebut, transportasi ini mengakut para pembeli dan pedagang dari Terminal Tegal Sari menuju Pasar Badung, begitu pula sebaliknya. Seiring berjalannya waktu, moda transportasi bertenagakan seekor kuda ini tergantikan oleh kendaraan bermotor. Makanya, ia sempat mati dan kini kembali dibangkitkan oleh Pemerintah Kota Denpasar sehingga wisatawan bisa punya pengalaman naik dokar setiap akhir pekan.
Nengah Taba, kusir dokar yang kami tumpangi, bercerita bahwa dirinya pertama kali menjalani profesinya pada tahun 1974 dan sempat vakum belasan tahun, sebelum akhirnya kembali pada tahun 2019. Kendati dua kali sehari saja bisa narik, Bapak Nengah berupaya menekan pengeluaran dengan memelihara sendiri pakan kudanya.
Dari sang bapak, kami belajar soal resiliensi. Bahwa tidak ada yang abadi di dunia. Justru perubahanlah yang niscaya. Tak ayal, manusia dianugerahi kemampuan adaptasi yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. Apalagi jika adaptasi mampu dinikmati prosesnya bak naik dokar yang kecepatan maksimalnya 20 kilometer per jam, tapi bisa rasakan semilir angin dan hijaunya kanan-kiri jalan.
2. Puri Agung Pemecutan jadi saksi bisu Perang Puputan Badung

Puri Agung Pemecutan sebagai agenda selanjutnya merupakan kesempatan langka yang mungkin tidak bisa dimiliki semua orang. Dikatakan bahwa sepanjang dua dekade terakhir kawasan ini tidak eksis sebagai destinasi wisata. Beruntungnya kami bisa mengenal lebih dalam sang saksi bisu dari Perang Puputan Badung melalui Kultara.
Puri Agung Pemecutan merupakan kediaman dari keluarga Kerajaan Badung sekaligus wadah berelasi antar kerajaan di Bali. Bangunannya berarsitektur khas Bali dengan konsep Nista Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala. Kesan kuno nan megah melekat pada pandangan pertama. Biar begitu, rupanya bangunan ini tidaklah persis sama dengan bangunan yang ada pada masa lampau.
“Ini bukan bangunan original. Ini sudah dibangun kembali pasca Perang Puputan Badung pada 1906. Apakah dihancurkan oleh Belanda? Tidak. Justru Raja ke-IX yang titahkan untuk membakar habis Puri Agung Pemecutan ketika melawan pasukan Belanda. Tujuannya, agar tidak dialihfungsikan. Usai perang, pihak Puri punya keyakinan ini sulit untuk dimenangkan dilihat dari persenjataan, jumlah pasukan hingga situasi yang sudah huru-hara”, terang Bli Jodi.
Sebuah kisah yang mengundang decak kagum. Turun gunung membela rakyat Badung yang dituduh mencuri tanpa bukti oleh seorang saudagar China, Kwee Tek Tjiang saja sudah merupakan keteladanan. Ditambah lagi, sang raja visioner sehingga mampu mengambil langkah strategis. Walaupun datang dengan konsekuensi putra mahkotanya harus diungsikan ke Kesiman.
Secara pribadi, mengilhami tindakan pemimpin Badung ini. Bagaimana penting menjadi manusia berprinsip dalam hidup sehingga tidak mudah terkena tipu muslihat pihak lain. Pun, perlu kemampuan untuk bisa membayangkan masa depan. Supaya prinsip yang diperjuangkan tidak berayun dari tangan yang kosong, melainkan sudah mempunyai target dan langkah-langkah strategisnya.
3. Tung, tung, tung.. bunyi kemenangan dari Bale Kulkul

Bangunan-bangunan yang masih berkaitan Puri Agung Pemecutan, menariknya tidak ditempatkan di satu titik, malahan menyebar. Seperti Bale Kulkul yang berada di perempatan, persis di pinggir jalan dekat puri yang membuatnya tidak ikut dilahap si jago merah ketika itu.
Bergeser dari peristiwa bersejarah melawan penjajah, ada pula kisah perang saudara. Namanya juga hidup, memang suka ada saja cobaannya. Puri Singaraja menantang Puri Agung Pemecutan untuk berduel. Pihak sana berdalih ingin menguji kemampuan Puri Agung Pemecutan yang usianya lebih muda sebagai kerajaan.
Akhirnya, sang penantang justru kalah sehingga dihadiahkan gelar ‘sakti’ dan Bale Kulkul ini kepada pemenang. Intinya, Bale Kulkul merupakan sarana komunikasi tradisional Bali berupa kentongan yang dibunyikan pada saat genting seperti adanya bencana dan kegiatan keagamaan. Hingga sekarang, banyak wilayah di Bali masih menggunakan kulkul.
Hanya saja, milik Puri Agung Pemecutan punya keistimewaan. Bangunannya menjulang tinggi dengan ukiran khas Buleleng, Bali Utara. Selain itu, dikelilingi dengan ornamen piring yang tidak biasa ada pada sebuah bale kulkul. Pada masa itu, menurut Bli Jodi, ornamen piring didatangkan oleh saudagar China karena Buleleng menjadi pintu masuk mereka di Bali.
Sejarah dibalik Bale Kulkul ini seakan membuat kehidupan terasa sebuah permainan. Ibaratnya, adanya cobaan malah dicobain. Bukan karena merasa di atas angin, melainkan berdamai dengan kenyataan bahwa keadaan ideal itu tidak selalu ada dan lebih banyak tantangan yang mengalir. Hadapilah sebagai pemain dan menangkan tiap tingkat permainannya.
4. Dar der dor.. Banjar Pemedilan dan Pura Penambang Agung, gudangnya persenjataan

Masih bicara soal pertarungan, tidaklah lengkap jika tidak ada alat tempurnya. Untuk itu, kami berjalan sedikit ke arah barat dari Patung Ida Cokorda Pemecutan IX. Di sinilah terdapat Banjar Pemedilan dan Pura Penambang Agung yang saling berseberangan.
“Jadi, kawasan Banjar Pemedilan pada masa lalu dijadikan gudang persenjataan dari Puri Agung Pemecutan. Pemedilan berasal dari kata “bedil”. Pernah dengar kata “bedil”? Bedil artinya senapan atau senjata api”, jelas Bli Jodi.
Saat memasuki kawasan Pura Penambang Agung, kami disambut oleh sepasang meriam kuno persis di depan Candi Bentar. Namanya Gora dan Gori, yang menjadi salah satu alat tempur pada masa itu. Yang tidak banyak diajarkan dalam pelajaran sejarah bahwa inilah senjata yang digunakan pada masa lampau. Senjata bambu runcing hanyalah simbolisasi, bukan sebuah realitas.
Bangsa kita tidak benar-benar mengusir penjajahan menggunakan bambu runcing. Kita menggunakan persenjataan tradisional seperti keris, rencong, dan lainnya serta senapan dari jarahan Belanda dan Jepang. Selain itu, senjata lain yang menjadi andalan adalah diplomasi. Kita banyak berkumpul dan berdiskusi baik dengan sesama saudara maupun dengan pihak lawan.
Dalam memperjuangkan hidup hari ini pun rasanya masih sama. Tetap dibutuhkan yang namanya senjata. Barangkali bukan senjata secara harfiah, melainkan senjata dalam bentuk kematangan berpikir, kemampuan diri hingga koneksi dengan orang lain. Dikarenakan setiap harinya kita mengambil keputusan dan mengerjakan tugas-tugas supaya hidup tetap berjalan.
5. Kawasan Setra Badung, mengenang yang telah diperjuangkan

Walking Tour ditutup dengan berjalan-jalan di Kawasan Setra Badung seluas hampir sembilan hektar. Pemakaman yang terbelah oleh sebuah jalan yang membentang dari barat ke timur ini membuatnya beralamat di Jalan Imam Bonjol dan Jalan Batukaru. Di Jalan Batukaru inilah yang menyimpan keunikan dari Kawasan Setra Badung. Terdapat makam keramat Siti Khotijah dan J. Miura yang membuang kesan eksklusivitas bagi umat Hindu dan warga negara Indonesia.
J. Miura diketahui berkewarganegaraan Jepang dan menjadi pasukan Nippon saat masa penjajahan. Namun, membelot ke pihak Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Sosoknya pun dikenang sebagai seorang yang penyayang dan egaliter seperti yang termuat di batu hitam sebelah makamnya.
Dari kacamata pribadi, beliau nampaknya seorang yang bijak dalam memilih. Tidak sekadar bertarung, tapi mempertimbangkan apa yang layak diperjuangkan dalam pertarungan. Baginya, barangkali kemerdekaan sebuah bangsa tidak pantas direnggut dan menjadi bahan pertarungan. Alhasil, nekad melawan arus demi menjalankan prinsip. Serupa dengan kisah dari Raden Ayu Siti Khotijah.
Singkatnya, Siti Khotijah yang sebelumnya penganut Hindu merupakan putri Raja Pemecutan dengan nama Gusti Ayu Made Rai. Dirinya menikahi Cakraningrat IV, seorang Raja Madura dan memeluk Islam lewat sayembara yang dikeluarkan ayahanda. Isi sayembara adalah mencari sosok yang bisa menyembuhkan putri kerajaan yang sedang sakit dengan hadiah pernikahan jika penyembuhnya adalah laki-laki. Sedangkan, menjadi saudari jika penyembuhnya adalah perempuan.
Satu waktu, Siti Khotijah pulang ke Bali untuk mengunjungi keluarganya. Ketika menunaikan ibadah salat pada malam hari, Siti Khotijah disangka ngeleak (baca: praktik ilmu hitam) oleh seorang patih. Reaktif dengan laporan sang patih, Raja titahkan untuk membunuh sang putri.
Siti Khotijah setia pada keyakinan bahwa agama yang dianutnya tidak sesat sehingga membiarkan titah itu terlaksana. Dirinya hanya memberikan isyarat untuk menusuknya dengan konde yang dibekali sang suami serta wajib membuat sebuah keramat jika jenazahnya nanti berbau harum. Perkataannya terbukti sehingga makam keramat ini ada. Siti Khotijah seperti memilih cara yang anggun untuk memperjuangkan prinsip hidupnya.
Berwisata ke destinasi bersejarah dan religius rupanya bisa membangkitkan semangat untuk memperjuangkan hidup. Kalau kamu lagi jenuh dengan rutinitas apalagi lelah dengan kehidupan, bisa nih cobain juga. Barangkali nanti bisa masuk ke fase bergumam bak Bernadya Ribka, "Untungnya, hidup harus tetap berjalan".