- Memaksakan diri meski kondisi tubuh sudah lelah atau terluka
- Gak memerdulikan cuaca buruk, seperti kabut tebal, badai, atau bahkan hujan es
- Menolak ajakan turun dari rekan setim demi terus lanjut ke puncak
- Meremehkan risiko dan tidak mengikuti rencana cadangan
- Obsesi berlebihan pada pencapaian puncak, seolah segalanya jadi nomor dua
Apa Itu Summit Fever dan Bahayanya bagi Pendaki Gunung

Kalau kamu hobi naik gunung atau baru mulai menekuni dunia pendakian, kamu wajib tahu istilah yang satu ini yakni summit fever. Istilah ini bukan sekadar tren belaka, melainkan bisa menjadi penentu apakah pendakianmu berlangsung dengan lancar atau justru berubah menjadi pengalaman buruk yang penuh risiko.
Penasaran? Yuk, kenali lebih dalam tentang summit fever dan bahayanya bagi para pendaki!
1. Apa itu summit fever?

Summit fever adalah kondisi psikologis ketika seorang pendaki terlalu berambisi untuk mencapai puncak gunung, bahkan jika itu mengorbankan keselamatan pribadi atau tim. Biasanya, ini terjadi saat seseorang sudah mendaki jauh, menguras tenaga, dan merasa “sayang” kalau harus mundur karena puncak sudah dekat.
Fenomena ini umum terjadi di kalangan pendaki profesional maupun pemula, terutama saat cuaca mulai memburuk atau kondisi tubuh sebenarnya sudah tidak memungkinkan untuk lanjut.
2. Ciri-ciri pendaki yang mengalami summit fever

Kamu bisa mengenali summit fever dari beberapa tanda berikut:
3. Bahaya summit fever bagi pendaki

Efek dari summit fever bukan hal sepele. Ini beberapa risiko yang sering terjadi jika kamu tetap memaksakan diri naik:
- Hipotermia karena memaksa naik di suhu ekstrem
- Kecelakaan fisik akibat kelelahan atau jalur berbahaya
- Tersesat karena mengabaikan jalur aman demi cepat sampai
- Kehilangan nyawa—ya, sebanyak itu kasus kematian akibat summit fever, termasuk di gunung-gunung terkenal dunia seperti Everest dan Denali
- Membahayakan anggota tim lain karena keputusan egois satu orang bisa menyeret orang lain ikut dalam bahaya
4. Contoh nyata summit fever

Salah satu kasus paling dikenal adalah tragedi di Gunung Everest tahun 1996, di mana beberapa pendaki profesional meninggal dunia karena terlalu ngotot ingin mencapai puncak meski kondisi cuaca tidak mendukung. Mereka menunda waktu turun, terjebak badai, dan akhirnya tidak bisa kembali dengan selamat.
Contoh ini jadi pengingat bahwa summit fever bisa terjadi pada siapa saja, terlepas dari pengalaman atau kesiapan fisik.
5. Cara menghindari summit fever

Supaya kamu tetap aman saat mendaki, perhatikan hal-hal berikut:
- Tetapkan batas waktu untuk mencapai puncak dan patuhi, apapun yang terjadi
- Evaluasi kondisi tubuh secara berkala, jangan malu bilang "cukup" kalau sudah tidak kuat
- Utamakan keputusan tim, bukan ego pribadi
- Punya rencana cadangan (plan B) kalau cuaca memburuk atau kondisi berubah
- Belajar dari pengalaman orang lain, terutama kasus-kasus kecelakaan pendakian
Summit fever adalah musuh diam-diam bagi para pendaki. Rasa ambisius dan semangat tinggi itu memang bagus, tapi jangan sampai membuatmu lupa bahwa alam punya aturannya sendiri. Kalau kamu ingin mendaki dengan aman, ingatlah: puncak itu bonus, pulang itu wajib.
Jangan biarkan obsesi membutakan logikamu. Mendakilah dengan bijak dan nikmati setiap langkah, bukan hanya tujuan akhir.
Jika kamu suka naik gunung, pastikan untuk mengenali tanda-tanda summit fever dan siap menghadapinya dengan tenang. Karena dalam dunia pendakian, keselamatan selalu jadi pencapaian tertinggi.