Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

1 Tahun Prabowo, Efisiensi Anggaran Bikin Serapan Belanja Seret

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Eksekusi terburu-buru hambat kinerja anggaran: Kebijakan efisiensi dijalankan terlalu cepat tanpa waktu transisi yang memadai
  • Berisiko hambat pertumbuhan ekonomi: Efisiensi anggaran berpotensi menghambat stimulus ekonomi jangka pendek
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menandai babak baru dalam pengelolaan fiskal nasional melalui kebijakan efisiensi anggaran. Tema efisiensi ini menjadi fokus utama yang terus digaungkan pemerintah sepanjang tahun pertama masa jabatan Prabowo–Gibran.

Kebijakan efisiensi mulai diperkenalkan pada awal 2025 melalui serangkaian instruksi Presiden dan Menteri Keuangan, yang mendorong Kementerian/Lembaga (K/L) untuk memangkas belanja nonprioritas, merasionalisasi perjalanan dinas, serta merealokasi anggaran ke program-program dengan impact ekonomi lebih tinggi. Namun kebijakan efisiensi ini justru kontraproduktif dalam upaya pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah menetapkan target efisiensi anggaran sebesar Rp 306,69 triliun, yang dirinci menjadi efisiensi belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 256,10 triliun dan efisiensi transfer ke daerah (TKD) sebanyak Rp 50,59 triliun.

1. Eksekusi terburu-buru hambat kinerja anggaran

Ilustrasi anggaran atau APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi anggaran atau APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)

Namun dalam pelaksanaannya, sejumlah kendala teknis muncul. Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan ini dijalankan terlalu cepat dan tanpa waktu transisi yang memadai. Banyak K/L yang telah menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA-K/L) harus melakukan revisi hanya dalam hitungan minggu setelah tahun anggaran dimulai.

“Efisiensi memang penting, tapi kami tidak diberi cukup waktu. Banyak program akhirnya tertunda atau bahkan gagal dilaksanakan karena perubahan mendadak dalam struktur anggaran,” ujar Yusuf kepada IDN Times, ditulis Minggu (19/10/2025).

Akibatnya, terjadi penundaan proses lelang proyek, perlambatan penyerapan anggaran, hingga pembatalan kegiatan prioritas karena waktu penyesuaian yang sangat terbatas. Situasi ini tak hanya berdampak pada kinerja birokrasi, tapi juga menimbulkan konsekuensi makroekonomi yang tidak bisa diabaikan.

2. Berisiko hambat pertumbuhan ekonomi

Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

Dari perspektif makroekonomi, efisiensi anggaran yang seharusnya memperkuat kondisi fiskal malah berisiko menjadi hambatan bagi dorongan pertumbuhan. Di tengah ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian dan melambatnya investasi swasta, belanja pemerintah terutama belanja modal seharusnya menjadi instrumen counter‑cyclical untuk memacu kegiatan ekonomi. Namun strateginya tampak tidak siap mendukung fungsi tersebut.

“Efisiensi yang seharusnya meningkatkan kualitas belanja malah berpotensi menghambat stimulus ekonomi jangka pendek. Di sinilah pentingnya keseimbangan, efisiensi fiskal harus dijalankan dengan pendekatan yang terukur dan tidak mengorbankan fungsi counter‑cyclical dari APBN,” tuturYusuf.

Ia menekankan, keseimbangan perlu dijaga: efisiensi fiskal harus dilaksanakan tanpa mengorbankan peran belanja negara dalam menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada kuartal II-2025, belanja pemerintah berkontribusi 6,93 persen terhadap pertumbuhan ekonomi, namun komponen ini justru mengalami kontraksi sebesar 0,33 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Meski terlihat kecil dibanding konsumsi rumah tangga, belanja negara memiliki fungsi strategis sebagai katalis pembangunan dan penyerap tenaga kerja.

3. Dampak di daerah TKD dipangkas dan pajak daerah naik

ilustrasi pajak (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)
ilustrasi pajak (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Dampak efisiensi anggaran tidak hanya dirasakan di tingkat pusat. Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan pemangkasan TKD telah memaksa banyak pemerintah daerah untuk mencari sumber pembiayaan alternatif, termasuk dengan menaikkan tarif pajak daerah.

Sebagai contoh, di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sempat muncul rencana kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen, demi menjaga kapasitas fiskal daerah untuk mendanai infrastruktur, layanan publik, dan program pembangunan lainnya. Dengan demikian, pemangkasan TKD bukan sekedar soal efisiensi fiskal, tapi juga menyentuh aspek keadilan sosial dan daya beli rakyat.

“Peningkatan pajak seperti PBB dan pajak kendaraan bermotor bisa menjadi jalan pintas yang kontraproduktif karena menambah beban masyarakat dan pelaku usaha lokal,” ujar Achmad.

Dengan demikian, pemangkasan TKD bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan sosial dan daya beli rakyat.

4. Sulit realisasikan pertumbuhan ekonomi 8 persen

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (Arief Rahmat)
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (Arief Rahmat)

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyebut akan sulit merealisasikan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dalam lima tahun ke depan. Dengan kondisi saat ini, target tersebut dinilai tidak realistis.

“Dengan kondisi seperti sekarang, saya rasa masih sangat sulit untuk mencapai 8 persen. Bahkan untuk mencapai 6 persen saja, dibutuhkan effort yang sangat besar,” ujar Huda.

Menurutnya, hingga saat ini belum ada arah kebijakan ekonomi yang secara jelas menunjukkan perbaikan struktural. Justru yang terlihat adalah pengetatan anggaran tanpa strategi komplementer yang mampu menjaga stimulus ekonomi dalam jangka pendek.

Ia menjelaskan kebijakan efisiensi anggaran yang digulirkan pemerintah pusat sejak awal tahun ini justru mulai menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional. Alih-alih meningkatkan efektivitas belanja, kebijakan ini telah memicu kelesuan ekonomi, kontraksi sektor jasa, dan tekanan fiskal di daerah.

Sejumlah sektor terdampak serius, termasuk sektor perhotelan dan jasa pertemuan, yang selama ini bergantung pada belanja pemerintah untuk kegiatan rapat, pelatihan, hingga sosialisasi kebijakan. Sejak pemangkasan besar-besaran anggaran perjalanan dinas dan kegiatan K/L, permintaan terhadap jasa akomodasi menurun drastis.

“Kebijakan efisiensi ini sangat mengguncang sektor kami. Banyak hotel kehilangan pesanan dari instansi pemerintah. Imbasnya, puluhan ribu karyawan terpaksa di-PHK, atau statusnya diturunkan menjadi pekerja harian,” ujar Huda.

Asosiasi Perhotelan Indonesia mencatat bahwa selama semester I tahun 2025, kebijakan efisiensi anggaran telah menyebabkan lebih dari 30 ribu pekerja di sektor perhotelan dirumahkan, sebagai dampak langsung dari penurunan permintaan jasa yang tajam.

5. Sisa 3 bulan, Belanja Kementerian Lembaga realisasinya baru 59 persen

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu), realisasi belanja kementerian/lembaga (K/L) hingga Agustus 2025 hanya mencapai sekitar Rp 686 triliun, atau setara 59,1 persen dari pagu anggaran Rp 1.160,1 triliun. Bila dibandingkan dengan outlook realisasi akhir tahun yang diproyeksikan sebesar Rp 1.275,6 triliun, angka ini hanya sekitar 53,7 persen.

Lebih mengkhawatirkan, sejumlah K/L besar mencatat pencapaian penyerapan yang sangat rendah: misalnya, Badan Gizi Nasional (BGN) baru menyerap 16,9 persen dari outlook Rp 116,6 triliun; Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU) sekitar 48,2 persen dari proyeksi Rp 85,7 triliun; dan Kementerian Pertanian (Kementan) hanya 32,8 persen dari proyeksi Rp 27,3 triliun.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti, di Kementerian Keuangan mengakui salah satu penyebab lambatnya realisasi belanja adalah keputusan efisiensi anggaran yang diterapkan secara tiba‑tiba, yang menyebabkan revisi ulang perencanaan anggaran di banyak K/L sehingga prosesnya mundur.

“Mereka melakukan perencanaan ulang, mana yang prioritas dan mana yang tidak, sehingga jadwal mereka juga jadi agak mundur,” ujar Astera.

Padahal, dalam kondisi ekonomi global yang masih diwarnai pelambatan permintaan, belanja pemerintah terutama belanja modal seharusnya bertindak sebagai stimulus utama untuk memacu pertumbuhan domestik. Alih‑alih menerima manfaat itu, kebijakan efisiensi tampak menghambat fungsi tersebut.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us

Latest in Business

See More

Inggris Proyeksikan 400 Ribu Lapangan Kerja di Sektor Energi Hijau

19 Okt 2025, 23:50 WIBBusiness