Apa yang Terjadi jika RI Kalah Gugatan Eropa soal Nikel di WTO?

Jakarta, IDN Times - Gugatan Uni Eropa atas kebijakan Indonesia melarang ekspor nikel masih berlangsung di World Trade Organization (WTO). Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira ada banyak dampak negatif jika Indonesia kalah akan gugatan tersebut.
Pertama, Indonesia akan membayar sanksi yang cukup besar jika kalah dari gugatan tersebut.
"Jika kalah di WTO konsekuensinya pemerintah harus bayar kompensasi kepada pihak yang memenangkan gugatan, dan nilainya tidak kecil," kata Bhima kepada IDN Times, Senin (12/9/2022).
Selain itu, jika Indonesia kalah gugatan Uni Eropa, maka akan terjadi kemunduran besar pada proyek hilirisasi nikel di Tanah Air.
1. Proyek baterai kendaraan listrik bisa terganggu
Kemunduran besar pada proyek hilirisasi nikel disebabkan keran ekspor harus terpaksa dibuka lagi jika Indonesia kalah dari gugatan Uni Eropa di WTO. Kemunduran pertama bisa disebabkan dari berkurangnya daya tarik investasi proyek hilirisasi nikel, seperti pembangunan smelter di Indonesia.
"Meskipun ada rentang waktu pembukaan bijih nikel tapi keputusan membuka ekspor bijih nikel sebenarnya blunder bagi daya tarik investasi terutama perusahaan China di proyek smelter. Karena 50 persen lebih penguasaan smelter nikel di Indonesia oleh investor China," ucap Bhima.
Pada akhirnya, proyek pabrik baterai kendaraan listrik bisa terganggu. Sebab, para investor bisa berkurang minat investasinya di Tanah Air.
"Bagi ekosistem industri EV (electric vehicle) termasuk baterai bisa mundur kebelakang, dimana Indonesia beli bahan baku baterai dari impor dan investor EV akan ragu bangun ekosistem industri EV di Indonesia. Mereka akan cari produsen bahan hilirisasi nikel yang siap. Aneh saja, kalau Indonesia kaya nikel, tapi hub industri pengolahan nikel nya di luar negeri," kata Bhima.
2. Hal yang perlu dilakukan pemerintah jika kalah gugatan Eropa di WTO

Untuk mencegah kemungkinan terburuk tersebut, Bhima mendorong pemerintah untuk meningkatkan porsi BUMN dalam penyerapan bijih nikel. Hal itu menurutnya bisa melindungi rencana-rencana pemerintah dalam hilirisasi nikel.
"Tujuannya, meski Indonesia kalah di WTO, namun ketersediaan bijih nikel terbatas dan memacu pelaku usaha di Eropa untuk melakukan relokasi hilirisasi ke Indonesia misalnya lewat kerjasama dengan BUMN," kata Bhima.
Kedua, pemerintah harus menjaga sentimen investor agar tetap menanamkan modal pada proyek hilirisasi nikel di Tanah Air.
"Terutama yang ingin merealisasikan investasi di ekosistem baterai dan mobil listrik dengan berikan berbagai insentif yang menarik sehingga jangan sampai terjadi pembatalan realisasi investasi. Itu yang perlu dijaga," tutur Bhima.
Selain itu, pemerintah diminta meningkatkan bea keluar bijih nikel secara signifikan.
"Misalnya sebesar 40 persen sehingga meskipun diperbolehkan mengekspor bijih nikel namun harga yang diterima calon pembeli di pasar ekspor sangat mahal," ujar Bhima.
3. Jokowi ungkap kemungkinan RI kalah gugatan nikel di WTO

Sebelumnya, Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengatakan Indonesia tidak perlu takut jika menyetop ekspor bahan baku mentah akan digugat di WTO. Sebab, tujuannya untuk kepentingan nasional. Selain itu, Jokowi mengatakan industrinya di dalam negeri sudah terbangun.
"Kenapa kita harus takut dibawa ke WTO kalah? kalah gak apa-apa, syukur bisa menang. Tapi kalah pun gak apa-apa, industrinya udah jadi. Ini memperbaiki tata kelola kok dan nilai tambah itu ada di dalam negeri," ucap Jokowi dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Rabu (7/9).
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan saat ini penyelesaian gugatan Uni Eropa di WTO atas penghentian ekspor nikel masih berlangsung.
"Masih berproses di panel sengketa WTO," kata pria yang akrab disapa Miko itu kepada IDN Times.
Hingga saat ini, Kemendag pun belum bisa memprediksi kapan proses penyelesaian gugatan itu rampung. Adapun gugatan itu terdaftar dengan nomor sengketa atau dispute settlement (DS) 592 atau DS592.
Namun, jika keputusannya tak sesuai keinginan Indonesia, maka pemerintah masih bisa mengajukan banding.
"Masih bisa banding dan bisa diprediksi waktunya," ucap Miko.