Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

AS Ancam Tarif hingga 3.521 Persen untuk Panel Surya Asia Tenggara

ilustrasi panel surya (pexels.com/Pixabay)
Intinya sih...
  • Departemen Perdagangan AS akan memberlakukan tarif baru terhadap impor panel surya dari Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
  • Tarif tersebut bervariasi, dengan Kamboja menghadapi tarif tertinggi hingga 3.521 persen, karena penyelidikan menemukan indikasi dumping dan subsidi tidak adil oleh perusahaan asal China.

Jakarta, IDN Times – Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) mengumumkan rencana tarif baru terhadap impor panel surya dari Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Langkah ini diambil setelah penyelidikan menemukan indikasi dumping dan subsidi tidak adil oleh perusahaan asal China yang beroperasi di kawasan tersebut. Tarif yang diajukan bervariasi, dengan Kamboja menghadapi tarif tertinggi hingga 3.521 persen.

Investigasi dimulai tahun lalu menyusul aduan dari Hanwha Qcells, First Solar, dan beberapa produsen kecil di AS. Mereka menuduh perusahaan China menjual panel surya di bawah harga produksi melalui pabrik di Asia Tenggara. Langkah ini dianggap melanggar aturan perdagangan dan merugikan industri dalam negeri.

“Ini adalah kemenangan yang menentukan bagi manufaktur Amerika dan menegaskan apa yang telah lama kita ketahui bahwa perusahaan tenaga surya yang berkantor pusat di China telah menipu sistem,” kata penasihat utama American Alliance for Solar Manufacturing Trade Committee, Tim Brightbill, dikutip dari BBC, Rabu (23/4/2025).

Komite itu mendesak pemerintah untuk menyelidiki sejak awal kasus ini.

1. Tarif akan berdampak besar ke pasar energi dan konsumen AS

ilustrasi panel surya (pexels.com/Mark Stebnicki)

AS mengimpor hampir 12 miliar dolar AS (sekitar Rp202 triliun) peralatan surya dari keempat negara itu sepanjang 2023. Tarif baru ini diperkirakan akan menguntungkan produsen lokal, namun dikhawatirkan menaikkan harga bagi bisnis dan konsumen. Produk dari Trina Solar di Thailand akan dikenakan tarif 375 persen, sementara Jinko Solar dari Malaysia terkena sekitar 41 persen.

Beberapa pengamat menyebut kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Industri dalam negeri mungkin mendapat angin segar, tapi harga produk akhir bisa melonjak signifikan. Apalagi, sel surya impor masih menjadi komponen penting dalam perakitan panel di pabrik-pabrik AS.

Kelompok industri seperti Solar Energy Industries Association menolak langkah ini dan menyatakan justru akan melukai produsen dalam negeri. Menurut mereka, kenaikan harga bahan baku akan memperlambat transisi energi bersih yang sedang dikejar pemerintah.

2. Perang dagang makin panas setelah kunjungan Xi Jinping ke Asia Tenggara

ilustrasi perang dagang antara China dan Amerika Serikat. (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Rencana tarif diumumkan hanya beberapa hari setelah Presiden China Xi Jinping menyelesaikan tur diplomatik ke Vietnam, Malaysia, dan Kamboja. Kunjungan ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan kawasan dan mendorong negara-negara tersebut melawan tekanan dari AS. Xi menyebut kebijakan tarif AS sebagai bentuk perundungan sepihak.

Selama masa jabatannya, Presiden AS Donald Trump telah menetapkan tarif hingga 145 persen terhadap produk China. Kini, tarif 10 persen juga diterapkan secara umum ke negara-negara lain hingga Juli mendatang. Pemerintah AS mengatakan, total beban tarif atas beberapa produk bisa mencapai 245 persen.

Sebagai balasan, China mengenakan tarif sebesar 125 persen terhadap produk asal Amerika dan berjanji akan berjuang sampai akhir. Ketegangan ini memperluas medan konflik dagang dari semula hanya antara dua negara menjadi mencakup kawasan Asia Tenggara.

3. IEA peringatkan risiko energi global di tengah perang tarif dan konflik

ilustrasi pabrik minyak (pexels.com/Zakelj)

Kepala Badan Energi Internasional (IEA), Fatih Birol mengatakan, krisis energi pascainvasi Rusia ke Ukraina belum cukup dijadikan pelajaran global. Ia menyampaikan, pandangan tersebut menjelang KTT energi di London yang dihadiri 60 negara, termasuk AS, Jepang, Prancis, dan Jerman. Rusia tidak diundang, sementara China absen karena bentrok jadwal.

“Ada risiko tradisional dan risiko baru, dan ini harus lebih dibahas secara internasional,” kata Birol, dikutip dari The Guardian, Rabu (23/4).

Ia menilai ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionis telah menciptakan ketidakpastian panjang. Menurut Birol, ada tiga prinsip utama untuk menjaga keamanan energi global, yaitu diversifikasi pasokan, stabilitas kebijakan jangka panjang, dan kerja sama lintas negara. Ia menambahkan, perang dagang dan konflik seperti di Ukraina serta Gaza memperparah kondisi pasar energi global.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us