AS Ancam Terapkan Tarif untuk Negara Pendukung Aturan Emisi Kapal PBB

- AS menolak kerangka Net-Zero IMO dan ancam negara pendukung.
- Negosiasi IMO disetujui mayoritas anggota, termasuk Eropa, namun AS keluar dari perundingan.
- IMO: aturan baru akan berdampak pada biaya tambahan hingga 40 miliar dolar AS pada 2030.
Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) secara resmi mengumumkan peringatan kepada negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait kesepakatan pengurangan emisi bahan bakar kapal. Langkah ini diambil oleh pemerintah AS pada Rabu (3/9/2025), menjelang pemungutan suara penting di International Maritime Organization (IMO) untuk menetapkan regulasi baru di sektor pelayaran.
Pemerintah AS meminta negara lain agar menolak proposal tersebut demi kepentingan ekonomi nasional. Ancaman berupa tarif, pembatasan visa, dan biaya pelabuhan turut disampaikan jika negara-negara mendukung aturan emisi yang diusulkan oleh IMO.
1. AS desak negara tolak kerangka Net-Zero IMO
Pemerintah AS menegaskan penolakannya terhadap proposal “Net-Zero Framework” yang diajukan oleh IMO, pada Agustus 2025.
“Pemerintahan Trump dengan tegas menolak proposal ini dan tidak akan menerima tindakan apa pun yang dapat meningkatkan biaya bagi rakyat kami, pemasok energi, perusahaan pelayaran, atau turis AS,” kata Menteri Luar Negeri, Perdagangan, Energi, dan Transportasi AS dalam pernyataan bersama.
AS juga menyebarkan nota diplomatik ke negara anggota IMO lainnya. Nota tersebut memuat ancaman balasan berupa tarif, pembatasan visa, hingga biaya pelabuhan, bila negara-negara tersebut mendukung proposal IMO.
“Jika usulan yang sangat tidak adil ini tetap dilanjutkan, pemerintah kami akan mencari tindakan balasan untuk menyeimbangkan biaya apa pun yang dibebankan kepada kapal AS,” tulis pemerintah AS, dilansir Bloomberg.
2. Negosiasi IMO dan reaksi negara Eropa
Mayoritas anggota IMO menyetujui skema emisi global untuk sektor pelayaran, meskipun AS keluar dari perundingan dan memperingatkan negara lain. Sebagian besar negara Pasifik dan Eropa mendukung aturan yang akan mengenakan denda 380 dolar AS (Rp6,2 juta) per metrik ton CO₂ melebihi ambang batas, mulai 2028.
Pemerintah Belanda, pada Agustus lalu, mengonfirmasi telah menerima peringatan langsung dari perwakilan AS agar negara tersebut tidak mendukung proposal IMO.
“Kami diminta untuk menolak kerangka kerja tersebut, jika tidak, akan ada kemungkinan balasan tarif maupun tindakan lain,” jelas juru bicara Kementerian Infrastruktur Belanda.
Perwakilan khusus dari Kepulauan Marshall untuk dekarbonisasi maritim menyatakan bahwa AS memang memiliki pengaruh besar, tetapi upaya kolektif tidak boleh dihalangi oleh satu negara saja. Ia menegaskan pentingnya melanjutkan kerja sama internasional demi keberhasilan dekarbonisasi maritim.
3. Dampak dan respons industri pelayaran dunia
IMO mengatakan pada Kamis (3/9/2025), bahwa pengurangan emisi dari sektor pelayaran sangat penting karena industri ini menyumbang hampir 3 persen dari total emisi CO₂ global, dan 90 persen perdagangan dunia dilakukan melalui jalur laut.
Rencana aturan IMO berpotensi menghasilkan hingga 40 miliar dolar AS (Rp656,5 triliun) biaya tambahan pada 2030, yang sebagian akan dialihkan untuk mempercepat penggunaan bahan bakar kapal ramah lingkungan. Namun pemerintah AS menilai aturan tersebut hanya membebani pelaku usaha dan konsumen di Amerika.
“Aturan ini pada dasarnya adalah pajak karbon global atas warga Amerika yang diberlakukan oleh organisasi PBB yang tidak bertanggung jawab,” kata para pejabat kabinet AS.
Pada akhir Agustus 2025, Presiden Trump secara terbuka menyatakan harapannya agar negara-negara yang mendukung energi terbarukan dan agenda iklim IMO kembali menggunakan bahan bakar fosil. Pernyataan ini muncul sebagai reaksi terhadap kebijakan beberapa negara yang tetap konsisten pada komitmen mereka terhadap energi terbarukan.