Dewan Energi Nasional Yakin Target Lifting Minyak 1 Juta Bph Tercapai

- Target 1 juta bph sasaran capai swasembada energi
- Peran strategis hulu migas dalam transisi energi
- Perlunya dukungan penuh pemerintah untuk optimalisasi produksi migas
Jakarta, IDN Times - Anggota Dewan Energi Nasional Abadi Poernomo optimistis Indonesia bisa mencapai target produksi siap jual (lifting) minyak sebanyak 1 juta barel per hari (bph) pada 2030.
Hal tersebut sejalan dengan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang mencatat peningkatan lifting minyak sebanyak 4.000 bph dari 576 ribu bph pada pertengahan 2024 menjadi 580 ribu bph pada periode yang sama tahun ini.
"Peningkatan lifting minyak ini sudah on track untuk target 1 juta bph," kata dia dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (24/8/2025).
Kendati demikian, menurut dia, masih ada kesenjangan antara kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional sekitar 1,5 juta bph dengan hasil lifting. Kondisi ini, kata Abadi, yang memaksa Indonesia melakukan impor, baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk jadi BBM.
1. Target 1 juta bph jadi sasaran capai swasembada energi

Abadi menyampaikan, untuk mengatasi impor energi, target produksi minyak 1 juta bph menjadi sasaran utama untuk mencapai swasembada energi nasional. Swasembada energi merupakan sebuah lompatan besar dibandingkan dengan sekadar ketahanan energi.
Swasembada berarti seluruh kebutuhan energi primer nasional dapat dipenuhi dari sumber-sumber dalam negeri. Berbeda dengan ketahanan energi yang lebih berfokus pada ketersediaan pasokan tanpa memandang asalnya, termasuk dari impor.
Abadi menambahkan, SKK Migas pun sudah menjalankan sejumlah strategi demi meningkatkan produksi migas, yang dimulai dari eksplorasi ekstensif untuk menemukan cadangan baru hingga reaktivasi sumur-sumur tua di berbagai wilayah.
Selain itu, optimalisasi lapangan-lapangan tua melalui teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) yang dapat memaksimalkan pengangkatan sisa minyak dari dalam reservoir. Dia juga mendorong penemuan cadangan baru karena sumber daya fosil suatu saat akan habis.
2. Peran strategis hulu migas

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak mengatakan, semua pihak harus tetap berpijak pada realitas di tengah perbincangan transisi energi. Itu karena porsi energi fosil dalam bauran energi nasional masih dominan di atas 80 persen.
Menurut Ali, dengan mengesampingkan peran hulu migas demi idealisme transisi energi yang terburu-buru, justru dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan program hilirisasi yang sedang berjalan.
"Proses transisi energi harus berjalan mulus dengan mengombinasikan sumber daya fosil dengan energi terbarukan secara bertahap. Terlebih lagi, peningkatan produksi hulu migas bisa menjadi langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat fondasi energi nasional,” tuturnya.
Upaya ini menuntut optimalisasi peran SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam mengatur dan mengelola lapangan-lapangan eksisting maupun mencari potensi cadangan baru.
Data SKK Migas menunjukkan, pengeboran sumur pengembangan hingga pertengahan 2025, sudah menyelesaikan 409 sumur atau meningkat 14 persen dibanding periode yang sama 2024 sebanyak 358 sumur. Kegiatan workover telah menyelesaikan 517 sumur, meningkat 6 persen dan kegiatan well service mencapai 20.644 kegiatan atau naik 12 persen.
3. Perlu dukungan penuh pemerintah

Ali mengatakan, semua upaya tersebut tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan penuh pemerintah. Dia menyoroti karakteristik industri hulu migas yang padat modal, padat teknologi, dan memiliki risiko yang sangat tinggi, baik dari sisi finansial, hukum, maupun keselamatan kerja.
"Dengan situasi seperti ini tidak banyak investor yang kemudian berani mengambil risiko. Agar investor ini berani maka pemerintah perlu memberikan kepastian hukum. Selain itu perlunya penyediaan insentif fiskal, seperti pemotongan pajak, untuk menarik lebih banyak minat para investor," ucapnya.