Dianggap Aset Digital Paling Aman, Kenapa Bitcoin Tidak Bisa Diretas?

- Aset kripto semakin populer sebagai investasi, didukung oleh institusi keuangan terkemuka.
- Keamanan Bitcoin didukung oleh teknologi blockchain yang terdistribusi dan enkripsi yang sulit diretas.
Di era digital yang serba cepat ini, aset kripto semakin populer sebagai pilihan investasi. Momentum ini semakin menguat setelah BlackRock, perusahaan manajemen aset terbesar di dunia, meluncurkan ETF Bitcoin pertamanya pada Januari 2024.
Langkah ini diikuti oleh berbagai institusi keuangan terkemuka lainnya, menandakan kepercayaan Wall Street terhadap keamanan Bitcoin sebagai aset digital. Bahkan, Microstrategy yang dipimpin Michael Saylor telah mengakumulasi lebih dari 100 ribu Bitcoin.
Bitcoin juga seringkali digadang-gadang sebagai aset digital yang paling aman, sebuah klaim yang kini didukung oleh masuknya institusi-institusi finansial papan atas ke dalam ekosistemnya. Tapi, benarkah demikian? Yuk, kita telusuri lebih dalam!
1. Kekuatan di balik blockchain

Jawabannya terletak pada teknologi blockchain yang menjadi fondasi utama Bitcoin. Blockchain adalah sistem pencatatan transaksi yang terdistribusi di seluruh dunia, sehingga tidak ada satu entitas pun yang dapat mengendalikannya.
Menurut AVG, blockchain bekerja dengan sistem hashing yang sangat aman dan terenkripsi menggunakan algoritma SHA-256, yang juga digunakan oleh perbankan dan militer. Selain itu, setiap transaksi dalam jaringan Bitcoin diverifikasi oleh ribuan node yang tersebar di seluruh dunia, menjadikannya hampir mustahil untuk dimanipulasi.
Bitcoin juga tidak memerlukan izin dari otoritas tertentu untuk beroperasi, yang berarti siapa pun bisa bergabung dalam jaringan tanpa perlu melewati lembaga pengawas, yang membuat sistemnya lebih transparan dan sulit untuk diretas.
2. 51% Attack: Hampir mustahil dilakukan

Salah satu cara teoretis untuk meretas Bitcoin adalah melalui 51% attack atau serangan 51%, yaitu ketika seseorang atau sekelompok penambang menguasai lebih dari 51 persen daya komputasi jaringan. Dengan kendali sebesar itu, mereka bisa memanipulasi transaksi atau bahkan melakukan double spending.
Namun, menurut Bitpanda dan Investopedia, serangan ini sangat sulit dilakukan karena biaya dan daya komputasi yang dibutuhkan luar biasa besar. Untuk menguasai 51 persen jaringan Bitcoin, penyerang harus memiliki lebih banyak daya komputasi daripada gabungan seluruh penambang lain di dunia, yang dalam praktiknya hampir mustahil dan tidak menguntungkan sama sekali.
Bahkan, jika ada entitas yang cukup kuat untuk mencoba serangan ini, mereka justru akan merusak sistem yang mereka sendiri kendalikan. Ini karena nilai Bitcoin akan jatuh drastis begitu jaringan mengalami gangguan, sehingga usaha mereka malah menjadi sia-sia.
3. Enkripsi kriptografi tingkat tinggi

Bitcoin menggunakan enkripsi kriptografi berbasis Elliptic Curve Digital Signature Algorithm (ECDSA) dengan kurva elips secp256k1. Sistem ini memastikan setiap transaksi memiliki tanda tangan digital unik yang hanya bisa diverifikasi oleh pemiliknya.
Menurut Forbes, meskipun ada kemungkinan ditemukannya celah matematika dalam algoritma ini, risikonya sangat kecil.
"Sepuluh tahun berlalu, ada banyak sekali orang yang telah melihat kode ini. Ini adalah hadiah senilai ratusan miliar dolar. Jadi saya pikir skenario itu sangat tidak mungkin terjadi," ungkap CEO Coinbase, Brian Armstrong, dikutip dari Forbes.
Selain itu, banyak serangan siber yang terjadi sebenarnya bukan pada jaringan Bitcoin itu sendiri, melainkan pada dompet digital atau platform pertukaran yang menyimpan Bitcoin pengguna. Ancaman utama justru berasal dari kelalaian individu atau kelemahan sistem pihak ketiga, bukan pada Bitcoin itu sendiri.
4. Desentralisasi

Salah satu alasan utama Bitcoin sulit diretas adalah karena sifatnya yang desentralisasi. Tidak ada otoritas pusat yang mengontrol Bitcoin. Jaringan ini dijalankan oleh ribuan node yang tersebar di seluruh dunia. Jadi, untuk meretas Bitcoin, seseorang harus meretas ribuan node tersebut secara bersamaan, hal yang sangat tidak mungkin.
Desentralisasi ini membuat Bitcoin sangat tahan terhadap serangan. Bahkan jika beberapa node diretas, node lainnya akan terus beroperasi dan memastikan bahwa jaringan tetap aman. Ini berbeda dengan sistem keuangan tradisional yang bergantung pada otoritas/server pusat yang rentan terhadap serangan.
Selain itu, dilansir River Learn, Bitcoin juga bisa beroperasi tanpa internet, menggunakan jaringan radio atau satelit. Ini membuat Bitcoin semakin sulit untuk dimatikan atau diretas.
5. Apakah Bitcoin tetap aman di bawah ancaman komputer kuantum?

Komputer kuantum sering dianggap sebagai ancaman bagi keamanan data, termasuk data pada cryptocurrency seperti Bitcoin. Beberapa orang khawatir komputer kuantum, yang jauh lebih cepat dari komputer biasa, dapat dengan mudah membobol sistem keamanan Bitcoin.
Namun, teknologi komputer kuantum saat ini masih dalam tahap pengembangan dan belum cukup canggih untuk melakukan serangan tersebut. Jaringan Bitcoin juga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan menggunakan teknologi enkripsi baru yang lebih kuat jika komputer kuantum menjadi ancaman di masa depan.
Dilansir Forbes, Google pernah mengklaim komputer kuantum mereka telah mencapai quantum supremacy. Google menyatakan, komputer kuantum mereka dapat menyelesaikan sebuah perhitungan yang membutuhkan waktu 10 ribu tahun bagi komputer biasa hanya dalam 200 detik.
Namun, perusahaan teknologi lainnya, IBM tidak setuju dengan klaim Google. IBM menyatakan, Google terlalu melebih-lebihkan perbedaan 6 kali lipat kecepatan antara komputer kuantum dan komputer biasa.
Jadi, meskipun ada ancaman seperti serangan 51 persen atau komputer kuantum, Bitcoin telah membuktikan dirinya sebagai sistem yang sangat sulit untuk diretas. Namun, tetap saja, keamanan dompet tetap menjadi titik lemah yang perlu diwaspadai. Jadi, selama kamu menjaga privat key dengan baik di dompet kripto kamu, Bitcoin kamu akan tetap aman. Gimana, sudah lebih paham kan kenapa Bitcoin sulit diretas?