Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ekonom: Kesenjangan Ekonomi Era Jokowi Lebih Buruk dari Orde Baru

Ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini menilai kesenjangan sosial pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo lebih buruk dari era orde baru (orba).

"Hasilnya gini ratio mengalami sedikit penurunan, tetapi tetap lebih jelek dibandingkan pemerintahan pada masa Orde Baru jika dilihat dari sekadar angka gini rasio pengeluaran keluarga," kata Didik, Selasa kemarin 18 Februari 2020.

1. Kebijakan Jokowi instan, minimal dan populis

Presiden Jokowi memberikan keterangan pers di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu 12 Februari 2020. IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Didik mengkritik pemerataan pembangunan yang dilakukan Jokowi instan dan minimal. "Bahkan bisa dikritik, kebijakan pemerintah karena tidak serius dan tidak kuat," ujarnya.

Desakan politik menyenangkan konstituen juga dinilai menjadi sebab Jokowi akhirnya mengambil kebijakan bersifat populis tuna, contohnya adalah program Dana Desa.

"Tidak salah kebijakan itu, tetapi itu kategori kebijakan bermutu rendah," kata Didik.

2. Program Dana Desa seperti bagi-bagi duit ke konstituen

Suasana pertemuan kades yang membahas tentang dana desa. (IDN Times/Nofika Dian Nugroho)

Program Dana Desa menjadi soroton Didik. Pesatnya kenaikan dana desa namun tingginya gini ratio menjadi dasar kritikan Didik.

Menurutnya program itu sangat politis untuk membeli suara karena dipromosikan oleh partai politik. "Seperti bagi-bagi uang ke konstituen, seperti bermanfaat tapi kurang produktif," katanya.

3. Data BPS tidak bisa dipakai?

Kepala BPS Suhariyanto memberikan keterangan pers. (IDN Times/Indiana Malia)

Didik mengatakan, pemerintah selalu menggunakan data BPS yang menunjukkan adanya penurunan kemiskinan. Namun hal itu juga celah kritik.

Didik mengatakan, pertama, angka gini ratio pada saat ini masih jauh lebih tinggi dari masa Orde Baru sehingga penurunan tersebut bukan suatu prestasi khusus.

Kedua, angka BPS hanya bisa dipakai dalam wilayah terbatas semisal ruang akademik, tetap tidak bisa mengukur masalah kesenjangan nyata di lapangan.

"Alasan data BPS tidak bisa dipakai secara kritis untuk melihat kesenjangan di lapangan karena alat ukur kesenjangan tersebut bukan untuk mengukur kekayaan, tetapi mengukur pengeluaran, yang kemudian dianggap sebagai pendapatan dan dianggap bisa atau dipersepsikan bisa diklaim sebagai indikasi kekayaan," kata Didik.

Ia menilai, pendekatan seperti ini secara akdemis dimaklumi, tetapi kenyataan ekonomi politik tidak bisa. "Karena yang super rich tidak bisa diukur oleh alat ukur BPS tersebut," ucapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Helmi Shemi
EditorHelmi Shemi
Follow Us