Ekonomi Inggris Terpuruk akibat Efek Jangka Panjang Pandemi Covid

- Program furlough dan beban keuangan negara melonjak tajamPemerintah Inggris menerapkan skema furlough pada Maret 2020 yang menghabiskan dana sekitar 70 miliar poundsterling (Rp1,5 kuadriliun) untuk melindungi pendapatan pekerja.
- Lonjakan penerima manfaat, jumlah tenaga kerja usia produktif yang mengklaim tunjangan kesehatan naik 38 persen menjadi 3,9 juta orang pada 2024.
- Efek penurunan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang melemah Long Covid mengikis PDB Inggris sekitar 1,5 miliar poundsterling.
Jakarta, IDN Times - Perekonomian Inggris masih menunjukkan dampak berkepanjangan dari pandemi Covid-19. Sejumlah indikator, seperti kenaikan utang publik, lonjakan jumlah penerima tunjangan sakit, hingga pertumbuhan ekonomi yang lemah, menjadi tanda-tanda ketahanan ekonomi negaranya yang diuji sejak awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020.
Per Jum'at (1/8/2025), laporan-laporan ekonomi terbaru memperlihatkan bahwa berbagai kebijakan darurat dan tekanan COVID-19 telah menghasilkan beban fiskal yang belum pernah ada sebelumnya di Inggris. Efek dari keputusan-keputusan selama masa pandemi itu kini terlihat nyata, mulai dari beban pajak tertinggi pasca perang hingga pelemahan daya saing nasional.
1. Program furlough dan beban keuangan negara melonjak tajam
Pemerintah Inggris menerapkan skema furlough pada Maret 2020 yang didesain oleh Tim Leunig, penasihat ekonomi Rishi Sunak. Program ini berjalan selama 18 bulan dan menghabiskan dana sekitar 70 miliar poundsterling (Rp1,5 kuadriliun), dimaksudkan untuk melindungi pendapatan pekerja dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja massal di tengah penutupan ekonomi total.
“Saya akan jujur, ini adalah sebuah kesalahan,” menurut pernyataan Tim Leunig terkait besarnya ukuran program ini.
Pada Senin (21/7/2025), Office for National Statistics mengumumkan bahwa pada Juni 2025, pemerintah perlu meminjam 20,7 miliar poundsterling (Rp450 triliun) demi menutup celah antara belanja dan pendapatan negara. Ini adalah angka pinjaman terbesar kedua pada bulan Juni sejak rekor bulanan dicatat mulai 1993, hanya kalah dari masa puncak pandemi pada 2020.
Sejumlah ekonom mencatat bahwa pilihan Inggris untuk memberikan perlindungan gaji secara masif tanpa batas waktu menyebabkan utang publik membengkak sangat drastis.
Pada Maret 2025, OBR (Office for Budget Responsibility) melaporkan bahwa rasio beban pajak Inggris diprediksi akan menembus 37,7 persen dari PDB pada tahun fiskal 2027/2028, tertinggi semenjak catatan sejarah 1948.
2. Lonjakan penerima manfaat akibat sakit dan tekanan pada anggaran negara
Institute for Fiscal Studies melaporkan pada September 2024, lonjakan jumlah penerima manfaat terkait kesehatan di Inggris. Dalam empat tahun terakhir sejak pandemi, jumlah tenaga kerja usia produktif yang mengklaim tunjangan kesehatan naik 38 persen menjadi 3,9 juta orang pada 2024.
Dari jumlah tersebut, 2,8 juta di antaranya keluar dari pasar kerja karena sakit kronis, khususnya long Covid dan masalah kesehatan mental, yang meningkat 37 persen di antara klaim baru. Studi ini juga mencatat bahwa fenomena tersebut sangat jarang terjadi di negara-negara maju lain.
“Kenaikan jumlah klaim manfaat kesehatan baru-baru ini menciptakan masalah fiskal bagi pemerintah dan juga menandakan kemunduran kesehatan populasi,” ungkap Eduin Latimer, peneliti IFS, dilansir Collateral Global.
Akibat tingginya angka penerima manfaat, tagihan tunjangan diperkirakan naik menjadi 63 miliar poundsterling (Rp1,3 kuadriliun) pada akhir periode pemerintahan berjalan, atau hampir 30 miliar poundsterling (Rp652,2 triliun) lebih banyak dibandingkan level sebelum pandemi pada 2020.
3. Efek penurunan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang melemah
Cambridge Econometrics pada Maret 2024, merilis hasil analisa makroekonomi dampak long Covid. Laporan tersebut menemukan bahwa long Covid mengikis PDB Inggris sekitar 1,5 miliar poundsterling (Rp32,6 triliun) setiap tahun dan menyebabkan 138 ribu orang kehilangan pekerjaan.
Jika prevalensi long Covid meningkat, kehilangan PDB bisa membengkak hingga 2,7 miliar poundsterling (Rp58,7 triliun) per tahun dengan lebih dari 311 ribu pekerjaan terdampak pada 2030.
“Dampak utama berasal dari menurunnya kemampuan orang untuk bekerja, yang menyebabkan penurunan pendapatan rumah tangga serta pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ujar seorang analis.
Kinerja ekonomi Inggris membuktikan tekanan ini. Statista merilis bahwa pertumbuhan ekonomi sepanjang 2024 hanya 0,9 persen, setelah tahun sebelumnya 0,4 persen. Meski tumbuh, angka ini jauh lebih lemah dibanding pemulihan pascapandemi di banyak negara maju lain. Kemunduran tersebut juga tercermin pada angka GDP per kapita yang terus turun tiga tahun beruntun.