Eks Staf Ahli Menkominfo: Starlink Berbahaya buat Indonesia

- Starlink resmi beroperasi di Indonesia
- Mantan Staf Ahli Menkominfo, Henry Subiakto, menyatakan Starlink berbahaya bagi Indonesia
- Perbedaan antara Starlink dan satelit konvensional dalam hal teknologi, bobot, kebutuhan mitra, dan potensi bahayanya bagi kedaulatan negara
Jakarta, IDN Times - Layanan internet berbasis satelit besutan Elon Musk, Starlink, telah resmi beroperasi di Indonesia. Namun, Mantan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatikan (Menkominfo), Henry Subiakto menyatakan Starlink bakal berbahaya buat Indonesia.
Henry tidak setuju dengan beroperasinya Starlink di Indonesia. Ada dua hal yang membuat Starlink buat Indonesia.
"Starlink tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan internet service provider, seperti group Telkom, Indosat dan lain-lain, tapi Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan separatisme seperti KKB/OPM dan lain-lain untuk komunikasi mereka tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia. Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI," tutur Henry dalam akun X pribadinya (@henrysubiakto), dikutip Selasa (21/5/2024).
Henry menyampaikan kekhawatiran jika kelompok tertentu menggunakan layanan Starlink untuk melakukan hal yang tak bertanggung jawab.
"Bagi rakyat kecil tahunya internet murah dan sampai pelosok-pelosok pasti didukung, tapi bagaimana konsekuensinya itu yang harus dipikirkan. Agak mending kalau Elon bersedia setuju dan komit tunduk pada UU Indonesia. Lalu wilayah layanan tidak mencakup wilayah rawan seperti Papua? Apakah Elon Musk mau?" papar Henry.
1. Starlink punya perbedaan dengan satelit biasa

Oleh karena itu, kata Henry, Starlink lebih banyak digunakan negara-negara satelit atau pendukung Amerika Serikat (AS).
Selain itu, Henry menilai Starlink berbeda dengan satelit biasa yang sudah ada sejak lama seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1, dan satelit-satelit lainnya milik negara-negara Eropa dan AS di luar Starlink.
"Starlink itu satelit Low Earth Orbit (LEO) yang beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 kilometer di atas permukaan bumi. Starlink ukurannya kecil, jumlahnya ribuan, dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. Mereka seolah seperti BTS terbang," beber Henry.
Sementara itu, satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 kilometer di atas khatulistiwa bumi. Selain itu, berada di satu titik relatif tetap dari permukaan Bumi dan untuk bisa melayani publik butuh perangkat stasiun Bumi.
Perbedaan lain ada pada bobot satelit. Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kilogram, sedangkan Satelit GEO lebih besar dan mahal karena teknologi dan perlengkapan lebih kompleks serta dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi.
Kemudian Starlink memakai teknologi phased-array untuk antena yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit itu sendiri. Sistem ini dirancang untuk latensi yang rendah dan kecepatan tinggi. Alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang bisa dipindah-pindahkan.
Sementara itu, Satelit GEO harus memakai antena besar yang tetap untuk komunikasi berkapasitas tinggi. Maka dari itu, satelit konvensional butuh mitra untuk mendistribusikan layanannya ke masyarakat dan itu merupakan perusahaan operator seluler serta ISP yang menjadi mitranya.
"Beda dengan Starlink yang tidak butuh mitra. Mereka bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga. Maka masuknya Starlink bisa jadi awal kematian perusahaan-perusahaan nasional di bidang internet, seluler, dan juga satelit," kata Henry.
2. Starlink bukan hanya perusahaan layanan satelit

Oleh karena itu, Henry menilai Starlink bukan sekadar perusahaan perangkat dan layanan satelit, tetapi berfungsi sebagai perusahaan internet service provider bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital. Mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yang sekarang tak sekadar medsos, tetapi juga mengarah jadi platform media komunikasi.
"Ini bahayanya. Perusahaan Starlink trafik dan kontennya di luar jangkauan yuridiksi, kedaulatan digital, dan kewenangan hukum nasional. Selain itu bisa dimanfaatkan untuk melawan kedaulatan negara dan mengancam keamanan nasional," kata Henry.
Perusahaan Starlink sebagai perusahaan AS dilindungi US Cloud Act 2018. Data yang mereka kumpulkan atau berada di perusahaan itu tidak boleh diakses negara lain termasuk Indonesia, tetapi harus terbuka pada pemerintah dan penegak hukum AS.
Namun, kata Henry, apakah Starlink apa mau menaati hukum di Indonesia atau hukum AS?
3. Konsekuensi melayani daerah konflik

Jika Starlink melayani Papua atau daerah konfik lain, datanya bisa diakses intelijen dan Pemerintah AS untuk kepentingan politik. Sebaliknya, data itu tidak bisa diakses Pemerintah Indonesia.
"Di situlah kenapa Starlink berbahaya bagi NKRI, saat melayani wilayah gunung-gunung dan pedalaman Papua," ujar Henry.
Henry menambahkan seperti yang terjadi di Ukraina, Starlink dipakai tentara Ukraina melawan Rusia. Rusia kewalahan karena pergerakan pasukannya bisa terpantau tentara Ukraina.