Ekspor CPO ke AS Berpotensi Stagnasi, Imbas Tarif 32 Persen Trump

- Gapki menilai tarif perdagangan AS 32% akan stagnasi ekspor CPO Indonesia ke AS
- Malaysia hanya dikenakan tarif 24%, berpotensi menggaet pasar baru dan memperluas ekspornya
- Tarif impor tinggi akan merugikan konsumen AS sendiri, pemerintah diminta turunkan beban di dalam negeri.
Jakarta, IDN Times - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai tarif perdagangan 32 persen yang dikenakan Presiden Donald Trump ke Indonesia, bakal menyebabkan stagnasi ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke Amerika Serikat (AS).
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan, sepanjang 2024 ekspor minyak sawit Indonesia ke AS tembus 2,2 juta ton. Dengan adanya kebijakan tarif impor yang tinggi, maka kegiatan ekspor diprediksi akan menurun, karena AS berpotensi beralih ke Malaysia.
Diketahui, Malaysia hanya dikenakan tarif impor 24 persen atau lebih rendah 8 persen dibandingkan Indonesia. Potensi ini pun akan dimanfaatkan Malaysia untuk aktif menggaet pasar baru memperluas kegiatan ekspornya.
"Paling tidak akan terjadi stagnasi besaran ekspor ke US atau beralih ke Malaysia, karena mereka lebih rendah tarif impornya," kata Eddy kepada IDN Times, Jumat (4/4/2025).
1. Ekspor CPO Indonesia ke Amerika Serikat terus meningkat dalam 5 tahun terakhir

Adapun, ekspor CPO Indonesia ke AS terus meningkat dalam lima tahun terakhir, dari di bawah 1 juta ton hingga saat ini sudah melebihi 2 juta ton.
Di sisi lain, Eddy mengatakan, penerapan tarif tinggi ini pun akan merugikan konsumen AS sendiri, karena terbebani dengan harga yang lebih mahal, baik dari Indonesia maupun Malaysia.
"Tidak semua produk minyak sawit dapat digantikan dengan minyak nabati lain, contoh margarin ini tidak bisa dibuat dari minyak kedelai, karena secara kesehatan justru dilarang, karena dapat menyebabkan kanker kalau dibuat dari minyak kedelai. Beberapa produk dari oleo chemical minyak sawit, ini juga tidak dapat digantikan dengan minyak nabati lain," kata dia.
"Artinya kalau minyak sawit tetap dibutuhkan, maka yang akan dirugikan utamanya adalah konsumen US sendiri," lanjut Eddy.
2. Gapki bidik Afrika jadi negara tujuan ekspor CPO

Eddy mengatakan strategi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghadapi tarif Trump, adalah penurunan beban di dalam negeri seperti Domestic Market Obligation, pungutan ekspor dan bea keluar.
"Penurunan beban supaya kita tidak kalah bersaing dengan negara lain. Karena US bisa impor selain dari Malaysia juga dari Amerika Latin, walaupun volumenya tidak besar," tegas dia.
Di sisi lain, Eddy mennyebut, Indonesia bisa melirik negara Afrika untuk dijadikan negara tujuan baru ekspor CPO, yang bisa mengurangi turunnnya (kerugian) akibat pemberlakuan tarif impor yang mahal oleh Negeri Paman Sam.
"Afrika masih ada peluang untuk dilakukan ekspor CPO," ujar dia.
3. Surplus neraca dagangan akan susut 1,8 juta dolar AS

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengatakan bila tarif impor 32 persen diimplementasikan, maka dampaknya akan terasa pada seluruh produk ekspor asal Indonesia.
Dalam hitungannya, besaran tarif yang dikenakan ke Indonesia tersebut akan mengurangi sekitar 10-15 persen dari total ekpsor Indonesia ke negara Paman Sam.
"Kita juga berpotensi kehilangan sekitar 1-1,8 juta dolar AS surplus perdagangan per bulan, yang biasanya dikontribusikan dari perdagangan bilateral dengan AS," kata Shinta.
Dampak lanjutan dari kebijakan tarif Trump ini juga akan signfikan ke ekonomi nasional, mengingat AS merupakan pasar tujuan ekspor kedua terbesar Indonesia, dan penyumbang surplus neraca dagang terbesar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada Februari 2025 sebesar 2,347 miliar dolar AS. Angka ini lebih tinggi dibanding Februari 2024 sebesar 2,101 miliar dolar AS, dan Januari 2025 sebesar 2,329 miliar dolar AS.
"Dampaknya kami rasa sudah terlihat pada nilai tukar, karena penerimaan surplus dagang turut membantu mengstabilkan atau menguatkan nilai tukar. Dengan kebijakan Trump, tentu akan semakin banyak spekulasi negatif yang menekan nilai tukar rupiah di pasar keuangan," tuturnya.