Imbas Larangan Bahan Baku Minyak Goreng, Harga TBS di Petani Anjlok
Jakarta, IDN Times - Larangan ekspor bahan baku minyak goreng ternyata berdampak pada penurunan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani kelapa sawit. Penurunan terjadi sejak pemerintah mewacanakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng pekan lalu.
Usai wacana itu, Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat pabrik kelapa sawit (PKS) mengumumkan penurunan harga pembelian TBS di beberapa wilayah. Dari Provinsi Riau misalnya, Ketua DPW SPI Riau, Misngadi, menyebutkan penurunan harga TBS masih terus berlanjut hingga hari ini.
“Banyak PKS yang menetapkan penerimaan TBS sampai hari ini, mengingat besok kebijakan pemerintah sudah diberlakukan. Harga TBS di petani juga turun, di kisaran Rp1.500 – Rp1.600 per kg. Bahkan ada juga yang dibeli kurang dari Rp1.000 per kg,” ujar Misngadi dikutip dari keterangan resminya, Rabu (27/4/2022).
1. Harga TBS di Sumut juga anjlok

Penurunan harga TBS juga terjadi di Sumatra Utara (Sumut). Ketua DPW SPI Sumatra Utara, Zubaidah mengatakan penurunan harga TBS cukup signifikan di wilayah tersebut.
“Di tempat tinggal saya, di Asahan, harga TBS berada di kisaran Rp1.500 – Rp1.800 per kg. Penurunannya signifikan sekali mengingat di bulan-bulan sebelumnya, harga TBS cukup tinggi,” kata Zubaidah.
2. Pemerintah harus segera tangani penurunan harga TBS

SPI meminta pemerintah segera mengontrol harga TBS di tingkat petani untuk mencegah harga makin turun. Dengan pelarangan ekspor yang hanya berlaku pada Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Olein, diharapkan perusahaan tetap membeli TBS dari petani sesuai dengan harga yang wajar.
Di sisi lain, sudah ada Surat Edaran Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian yang mengingatkan bahwa pembelian TBS sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 1 tahun 2018, sehingga tidak dibenarkan untuk membeli TBS di bawah harga yang telah ditetapkan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum SPI, Henry Saragih menegaskan dinamika ini seharusnya tidak terjadi apabila pihak perusahaan ataupun korporasi sawit berlaku patuh dan mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Kasus mengenai menurunnya harga TBS di tingkat petani, ini kan sebenarnya sudah diperinci pemerintah bahwa yang dilarang ekspor adalah RBD Palm Olein, bukan CPO. Selain itu sudah diatur juga pedoman untuk pembelian harga TBS sesuai dengan wilayahnya masing-masing, sehingga tercipta keadilan harga. Masalahnya peraturan ini lagi-lagi tidak dipatuhi,” kata dia.
3. SPI sebut kebijakan pemerintah untuk stabilkan harga minyak goreng tidak efektif

Selain itu, Henry menyoroti bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng tidak berjalan efektif, seperti penetapan harga eceran tertinggi dan penetapan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation).
“Gagalnya upaya atau kebijakan-kebijakan yang sebelumnya diambil pemerintah tidak terlepas dari andil perusahaan atau korporasi yang membangkang. Pemerintah dalam hal ini harus mengambil sikap tegas, mengingat mereka telah mengambil keuntungan secara sepihak dengan mengorbankan kesejahteraan nasib petani perkebunan rakyat,” ucap Henry.
Lebih lanjut, Henry Saragih mengatakan dinamika seputar mahalnya harga minyak goreng ini menunjukkan pentingnya perombakan tata kelola perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia.
Henry menegaskan perbaikan tata kelola perkebunan dan industri sawit Indonesia harus dilandasi dengan menjalankan reforma agraria, sebagaimana amanat dari Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria Tahun 1960.
“Melalui reforma agraria, izin dan konsesi perkebunan yang luasnya sangat besar itu harus dikoreksi dan ditinjau kembali. Hal ini mengingat ketimpangan dan penguasaan tanah sudah semakin nyata di Indonesia. Ini juga berkaitan dengan tingkat kesejahteraan petani. Bagaimana bisa penghasilannya membaik jika tanah yang dimilikinya juga tidak memadai?,” katanya.
Henry menambahkan, pemerintah harus mewajibkan PKS untuk membayar harga TBS sesuai dengan yang diberlakukan tiap-tiap daerah.
“Jadi harga yang dibayar rendah dengan alasan pelarangan ekspor itu harus dibayar kembali kekurangannya oleh PKS. Misal kalau kemarin petani jual TBS harga Rp1.500 dan harga ketetapan di daerah Rp3.000 maka PKS itu harus bayar kembali Rp1.500 selisihnya,” kata dia.