Industri Farmasi Masih Sulit Mandiri, Apa PR Pemerintah?

Jakarta, IDN Times – Indonesia merupakan negara dengan potensi besar untuk menjadi basis industri farmasi di wilayah Asia Tenggara. Namun, kemandirian industri farmasi masih sulit terwujud jika disandingkan dengan kebutuhan harga obat yang terjangkau.
Untuk mencapai kemandirian industri farmasi hingga bisa menjadi basis, pemerintah dinilai perlu mendorong industri ini beralih menjadi berbasis inovasi.
“Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan hal tersebut. Misalnya menambah anggaran riset dan pengembangan serta menggunakan fleksibilitas pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI),” cetus Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ronald Tundang, dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Senin (23/1/2023).
Pemerintah didorong meningkatkan kapasitas riset dan mengembangkan skala industri farmasi. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan anggaran riset dan pengembangan. Saat ini, anggaran riset dan pengembangan Indonesia merupakan yang terkecil di G-20, yakni 0,2 persen dari GDP.
1. Berbagai kebijakan pemerintah untuk mendukung kemandirian industri farmasi

Indonesia merupakan salah satu proponen pengusul obat dan vaksin COVID-19 sebagai komoditas publik. Indonesia mendukung pengecualian perlindungan hak atas kekayaan intelektual untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual yang berhubungan dengan Perdagangan (Trade-related Intellectual Property Rights Agreement/TRIPs).
Pemerintah juga telah mengambil kebijakan untuk mendorong kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi bahan baku obat (BBO), misalnya TKDN.
Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kebijakan kedua adalah insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi BBO.
2. Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi, adalah dua tujuan berbeda

Meski demikian, Ronald mengingatkan pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam kondisi normal dan kondisi mendesak semisal pandemi. Kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat menambah harga obat dalam kondisi mendesak.
"Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua tujuan penting namun berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi," ujarnya.
Kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang memang dapat membuat harga obat terjangkau. Namun hal ini, menurutnya, tidak mudah karena dibutuhkan kapabilitas riset dan pengembangan yang tinggi.
3. Opsi untuk mengembangkan industri farmasi

Ronald menyampaikan, ada beberapa opsi untuk mengembangkan industri farmasi yang dapat diambil Indonesia. Pertama, Indonesia bisa mengikuti jejak India dan China dengan memproduksi obat generik. Atau, Indonesia bisa juga mengikuti jejak Amerika Serikat dan Swiss menjadi pusat pengembangan riset dan teknologi.
“Sejauh ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas mengenai hal ini,” jelas Ronald.
Jika Indonesia memilih opsi pertama, maka strategi yang perlu disiapkan adalah identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya. Provisi ini membolehkan produsen obat generik di Indonesia untuk meminta izin pemasaran menggunakan obat paten yang masih berlaku.
Provisi Bolar ini juga berlaku untuk opsi kedua. Banyak negara menggunakannya untuk kepentingan riset dan pengembangan. Indonesia belum menjadi pilihan karena belum ada basis industri BBO serta kapasitas riset dan pengembangan yang masih rendah.