Kemasan Rokok Diseragamkan, Serikat Pekerja Protes Kemenkes

- FSP RTMM-SPSI kecewa Kemenkes tetap menerapkan penyeragaman kemasan rokok tanpa merek
- Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Kemenkes
- Kebijakan ini dianggap akan merugikan industri tembakau dan berpotensi mematikan seluruh ekosistem industri tembakau
Jakarta, IDN Times - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM–SPSI) mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Kekecewaan itu disampaikan lantaran Kemenkes akan tetap menerapkan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sebagai salah satu aturan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes).
Padahal sebelumnya, FSP RTMM-SPSI telah menolak keras aturan ini lewat aksi unjuk rasa yang dihadiri ribuan pekerja tembakau di kantor Kemenkes.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS menjelaskan sebelumnya aksi unjuk rasa ini telah membuahkan audiensi. Saat itu Kemenkes yang diwakili oleh Ketua Tim Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Benget Saragih hadir menemui perwakilan FSP RTMM-SPSI dan menghasilkan keputusan bahwa Kemenkes akan mempertimbangkan kembali aturan ini.
“Secara lisan yang kami dengar saat perwakilan kami tanggal 10 Oktober diterima masuk oleh Kemenkes, dikatakan bahwa tidak dan/atau belum ada rencana penyeragaman kemasan. Namun demikian, sampai saat ini kami belum diundang kembali untuk membahas Rancangan permenkes tersebut sesuai janji dan kesepakatan tertulis,” tutur Sudarto dalam keterangan resminya, Rabu (30/10/2024).
1. Kemenkes disebut bakal tetap melakukan penyeragaman kemasan rokok

Namun, Sudarto mengatakan pihaknya mendapat informasi terbaru bahwa Kemenkes tetap akan mendorong aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Kemenkes tetap akan mewajibkan keseragaman warna kemasan dan logo, serta penulisan merek menggunakan huruf yang sama.
Keputusan itu kemudian diakui Sudarto mengecewakan FSP RTMM-SPSI karena hal ini membuktikan bahwa Kemenkes abai dengan suara mereka dan tetap mendorong aturan yang akan merugikan industri tembakau untuk memasarkan produk legalnya.
“Kalau penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini dipaksakan maka akan bertabrakan dengan aturan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di mana identitas merek telah dilindungi secara hukum,” ujar dia.
2. Bertentangan dengan Asta Cita Prabowo-Gibran

Sudarto juga melihat aturan tersebut bertentangan dengan Asta Cita pemerintahan baru Prabowo-Gibran yang akan mendorong target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen sampai akhir masa jabatan.
Hal itu lantaran kebijakan ini berpotensi mematikan seluruh ekosistem industri tembakau. Adapun imbasnya secara ekonomi mencakup penurunan penerimaan cukai hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang tidak boleh dipandang sebelah mata.
“Seharusnya setiap kebijakan dan regulasi harus memperhatikan dampaknya, di mana seharusnya tidak semakin menyengsarakan kelompok bawah wong cilik yang paling lemah,” ujar Sudarto.
3. Rancangan Permenkes harusnya tidak melenceng dari UU Kesehatan

Sudarto juga mengingatkan, mandat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 hanya terkait penerapan graphic health warning (GHW) sebesar 50 persen dan Rancangan Permenkes semestinya tidak melenceng dari aturan yang semestinya diterapkan.
“Wewenang Kemenkes harusnya sesuai UU Nomor 17/2023, yaitu hanya mengatur pengaturan peringatan kesehatan sebesar 50 persen saja,” kata dia.
Melihat dampak ini, Sudarto berharap pemerintahan baru Prabowo-Gibran yang baru saja dilantik dapat melindungi mereka dan secara tegas membatalkan aturan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa merek yang akan berimbas pada sektor tembakau.
“Kami berharap pemerintahan baru dapat menjaga komitmen dan konsistensinya dengan tidak mengambil kebijakan yang menimbulkan polemik besar di masyarakat di saat gelombang PHK terus terjadi. Ini sangat kami sesalkan di mana aturan pemerintah tidak berpihak pada tenaga kerja,” tutur Sudarto.