Penghapusan SLIK OJK Dinilai Berisiko, Bisa Picu Lonjakan Kredit Macet

- Penghapusan SLIK dapat menghilangkan alat navigasi dalam penyaluran kredit
- Kenaikan kredit macet berdampak pada kinerja keuangan dan stabilitas ekonomi nasional
- Sarankan pemerintah sediakan rumah susun dengan harga terjangkau untuk menjaga stabilitas keuangan
Jakarta, IDN Times - Pengamat pasar modal Hans Kwee menilai wacana penghapusan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK untuk mempermudah kredit rumah subsidi sebagai kebijakan yang sangat berisiko.
SLIK merupakan salah satu instrumen utama yang digunakan bank atau lembaga keuangan untuk menilai kelayakan debitur sebelum memberikan pinjaman. Oleh karena itu, SLIK berfungsi mencatat rekam jejak kredit seseorang sehingga bank dapat memprediksi risiko kredit macet.
“Usulan ini kurang tepat. SLIK mencatat track record kredit seseorang, dan menjadi acuan bank dalam menyalurkan kredit. Asumsinya, jika seseorang pernah memiliki masalah kredit, bank harus lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman,” ujar Hans, dikutip Kamis (11/12/2025).
1. Penghapusan SLIK bisa hilangkan alat navigasi dalam salurkan kredit

Hans menekankan penghapusan SLIK sama dengan menghilangkan alat navigasi bagi perbankan dalam menyalurkan kredit. Tanpa data riwayat kredit, bank akan kesulitan menilai kemampuan calon debitur dalam memenuhi kewajibannya di masa mendatang.
“Jika SLIK dihapus dan orang tetap memperoleh kredit, potensi gagal bayar akan sangat tinggi. Padahal bank menyalurkan dana masyarakat yang memiliki biaya sendiri. Jadi, memberikan kredit kepada pihak yang belum layak sama saja memindahkan masalah dari debitur ke industri perbankan,” ujar Hans.
2. Kenaikan kredit macet berdampak pada kinerja keuangan

Hans mengingatkan lonjakan kredit macet bisa mengancam kesehatan perbankan secara keseluruhan. Sistem keuangan yang sehat sangat bergantung pada disiplin kredit dan pengelolaan risiko yang hati-hati. Oleh karena itu, menurut Hans, menghapus SLIK sama saja melemahkan fondasi tersebut, yang berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang bagi stabilitas ekonomi nasional.
“Jika perbankan terganggu, implikasinya luas dan bisa memicu krisis ekonomi di Indonesia,” ujarnya.
3. Sarankan pemerintah sediakan rumah susun dengan harga terjangkau

Hans menyinggung krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008. Kredit perumahan diberikan kepada kelompok yang tidak layak, memicu lonjakan gagal bayar yang mengguncang ekonomi global.
“Saat itu banyak orang tanpa penghasilan tetap atau pekerjaan memiliki properti dengan bunga tinggi. Akibatnya, subprime mortgage meledak pada 2009, menyebabkan krisis ekonomi di Amerika dan dunia. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua negara, termasuk Indonesia, emberian kredit tanpa analisis risiko yang tepat dapat menimbulkan efek domino yang sangat merugikan,” tuturnya.
Hans menekankana kebutuhan hunian memang penting, namun tidak semua orang yang membutuhkan hunian layak memperoleh fasilitas kredit. Untuk menjaga stabilitas keuangan, ia menyarankan pemerintah menyediakan rumah, rumah susun, atau apartemen untuk disewakan dengan subsidi sehingga harga tetap terjangkau.
Ia mengusulkan agar hunian sewa diberikan berdasarkan radius tempat bekerja, sehingga membantu masyarakat berpenghasilan rendah menghemat biaya hidup.
“Dengan tinggal dekat tempat kerja, biaya hidup lebih minim dan waktu lebih efisien. Selain itu, skema ini juga dapat mendorong produktivitas karena warga tidak kehilangan waktu dan tenaga akibat perjalanan jauh. Mekanisme seperti ini layak dipertimbangkan sebagai solusi jangka panjang bagi kebutuhan hunian masyarakat,” papar Hans.


















