Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Polemik Tapera: Dihujat Pegawai Swasta, Ditolak Pengusaha

Ilustrasi Tapera Mobile. (IDN Times/Trio Hamdani)
Ilustrasi Tapera Mobile. (IDN Times/Trio Hamdani)
Intinya sih...
  • Tapera menuai kontroversi di kalangan masyarakat
  • Iuran Tapera sebesar 3 persen ditanggung 2,5 persen gaji pekerja swasta dan 0,5 persen pemberi kerja
  • Penolakan datang dari karyawan yang sudah memiliki rumah dan yang belum memiliki rumah serta Apindo sebagai pengusaha
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tengah menjadi topik hangat yang dibicarakan masyarakat dalam beberapa hari terakhir. Hal itu tidak terlepas dari keputusan Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera.

Namun, bukan cuma itu yang membuat Tapera menuai kontroversi. Keberadaan poin tentang iuran Tapera sebesar 3 persen yang ditanggung 2,5 persen dari gaji pekerja swasta dan 0,5 persen pemberi kerja membuat masyarakat meradang.

Tak heran jika persoalan iuran Tapera itu mendapatkan penolakan, baik dari karyawan swasta maupun pengusaha.

1. Penolakan dari pekerja swasta yang sudah memiliki rumah

Ilustrasi Perumahan. (dok. Kementerian PUPR)
Ilustrasi Perumahan. (dok. Kementerian PUPR)

Penolakan cukup keras datang dari karyawan atau pekerja swasta yang saat ini sudah memiliki rumah. Anti (35) dan Irvan (30) contohnya yang menganggap Tapera tidak akan berdampak apa-apa terhadap mereka yang telah memiliki rumah saat ini.

Anti yang merupakan pekerja asal Tangerang Selatan mengaku sangat tidak setuju dengan aturan iuran Tapera tersebut dan merasa keberatan jika aturan itu diterapkan. Ketidaksetujuan itu berangkat dari banyaknya tanggungan yang masih dimiliki Anti.

Salah satu tanggungan tersebut merupakan cicilan rumah yang dia miliki dan akan berakhir 4 tahun lagi.

"Aku gak setuju dan keberatan banget. Aku aja masih nyicil (rumah), ini dipaksa 2,5 persen. Kenapa gak 2,5 persen ini dialokasikan ke cicilan aku aja? Belum lagi aku punya anak dengan isu UKT mahal, mending aku nabung 2,5 persen buat pendidikan," kata Anti kepada IDN Times, Selasa (28/5/2024).

Anti yang telah bekerja selama 13 tahun itu pun mengaku siap mengambil tindakan jika potongan gaji untuk simpanan Tapera benar-benar diterapkan.

"Aku sih udah niat nih kalau ada aksi tolak Tapera ini mau ikutan," ujar ibu satu anak tersebut.

Sementara itu, Irvan menyampaikan, kebijakan soal Tapera perlu diuji kelayakan dan urgensinya.

Salah satu hal yang perlu diuji kelayakan dan urgensinya dari sisi tujuan pemanfaatan Tapera untuk pembiayaan perumahan. Satu hal yang paling disorot adalah ketentuan perihal 'seluruh peserta akan mendapatkan manfaat tabungan beserta hasil pemupukannya yang bisa diambil pada saat masa kepersertaan berakhir.'

"Pertanyaannya, berapa lama masa kepesertaan? Bagaimana kalau dana tersebut dibutuhkan oleh peserta sebelum masa kepesertaan berakhir? Andaikan mau beli hunian 5 tahun lagi bisa gak tarik uangnya?" kata Irvan.

Sebagai orang yang sudah memiliki rumah, Irvan pun menanyakan manfaat yang bisa dia terima akan seperti apa jika gajinya dipotong sebesar 2,5 persen untuk simpanan Tapera.

Bagi yang belum punya rumah, Irvan menilai angka potongan 2,5 persen untuk Tapera merupakan angka yang lumayan besar. Alih-alih untuk simpanan Tapera, jumlah potongan gaji tersebut bisa digunakan untuk menambah cicilan perumahan atau dialokasikan untuk biaya kontrak rumah atau kebutuhan lain.

"Misalnya kita punya gaji 6 juta, kepotong 2,5 persen untuk Tapera. Artinya, sekitar 150 ribu per bulan kepotong ya. Pertanyaannya lagi, 150 ribu per bulan harus nabung sampai kapan bisa sampai dapat rumah? Sementara kan harga tanah dan bangunan terus naik," ujar Irvan.

2. Penolakan pekerja yang belum memiliki rumah

Ilustrasi Tapera Mobile
Ilustrasi Tapera Mobile

Penolakan bukan hanya datang dari pekerja swasta yang sudah memiliki rumah, melainkan dari mereka yang belum memiliki rumah dan bercita-cita untuk memilikinya suatu saat nanti.

Seorang pegawai bernama Rio (27) mengaku tak rela gajinya harus dipotong membiayai orang lain.

“Gak rela saya! Saya saja bukan orang yang mampu dengan gaji UMR yang tidak seberapa, belum lagi tanggungan ini itu,” kata Rio saat dihubungi IDN Times.

Rio pun menyinggung potongan pajak yang harus ditanggungnya setiap bulan. Dia mempertanyakan fungsi masyarakat membayar pajak apabila pemerintah menambah kewajiban membayar iuran Tapera.

“Buat apa juga saya kerja untuk orang lain. Terus gunanya pajak apa?” ucap Rio.

Seorang pegawai swasta di kawasan Jakarta Timur, Dhiya (26) mengatakan, potongan gaji setiap bulan sudah sangat besar untuk iuran kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ia menegaskan tak rela jika gajinya harus dipotong lagi untuk iuran Tapera.

“Selama ini kan sudah banyak potongan-potongan yang dibebankan ke karyawan kayak JKN, JHT, JP,” ujar Dhiya.

Regulasi terbaru mewajibkan pekerja membayar iuran Tapera sebesar 2,5 persen dan 0,5 persen dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan. Menurut Dhiya, potongan 2,5 persen pun terbilang besar.

"Mungkin bagi sebagian orang nilai yang dipotong gak seberapa. Tapi bagi sebagian orang nilai itu termasuk besar,” ujar Dhiya.

3. Penolakan dari sisi pengusaha

Ketua Umum APINDO, Shinta W Kamdani (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)
Ketua Umum APINDO, Shinta W Kamdani (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Rasa keberatan terhadap iuran Tapera juga turut disuarakan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo. Dalam pernyataan resminya, Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani, menyatakan, aturan baru Tapera hanya menambah beban baru bagi pegawai dan pengusaha.

Sebab, beban pungutan yang telah ditanggung perusahaan sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja.

“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar," kata Shinta.

Apindo pun menjabarkan beban iuran yang harus ditanggung pengusaha setiap bulannya, sebagai berikut:

Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU Nomor 3/1999)

  1. Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3,7 persen
  2. Jaminan Kematian (JKM) sebesar 0,3 persen
  3. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,24-1,74 persen
  4. Jaminan Pensiun (JP) sebesar 2 persen

Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU Nomor 40/2004)

Jaminan Kesehatan sebesar 4 persen

Cadangan Pesangon (berdasarkan UU Nomor 13/2003)

Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.

Kemudian dalam hal mewujudkan akses pembiayaan hunian bagi masyarakat, Apindo meminta pemerintah menggunakan dana yang terhimpun dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.

“Hal ini sesuai dengan regulasi PP Nomor 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,” ujar Shinta.

Dalam PP tersebut, maksimal 30 persen (Rp138 triliun), maka aset JHT sebesar Rp460 triliun dapat digunakan untuk program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan Pekerja.

“Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya,” ujar Shinta.

Lebih lanjut Shinta mengatakan, dana dari JHT untuk program MLT itu bisa disalurkan menjadi empat manfaat, yakni:

  • Pinjaman KPR sampai maksimal Rp500 juta
  • Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp150 juta
  • Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta
  • Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK)

Infografis asal mula lahirnya potongan Tapera ((IDN Times)
Infografis asal mula lahirnya potongan Tapera ((IDN Times)
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
Jujuk Ernawati
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us