Purbaya Sebut Bea Cukai Pernah Dibekukan Era Orba, Gimana Faktanya?

- Reformasi awal tak membuahkan hasilDikutip dari Media Keuangan, fakta menunjukkan masalah penyelewengan dan penyelundupan di Bea Cukai sudah mengakar lama. Ali Wardhana mencoba menanggulangi korupsi dengan memberikan tunjangan khusus yang besarnya mencapai sembilan kali gaji.
- Kewenangan dicabut dan dialihkan ke SGSPada 1983, Presiden Soeharto mengambil tindakan radikal dengan mencabut sebagian besar wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Peran Bea Cukai dipercayakan kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerja sama dengan perusahaan swasta asal Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS).
- Kewenangan Bea Cukai kem
Jakarta, IDN Times - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini mengeluarkan ultimatum keras kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).
Dia mengancam akan membekukan wewenang lembaga tersebut dan mengalihkannya kepada pihak swasta seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Lantas, benarkah Bea Cukai pernah dibekukan seperti kata Purbaya?
Faktanya, peristiwa historis di mana kewenangan Bea Cukai dicabut memang pernah terjadi. Kisah tersebut berawal dari kegagalan reformasi yang coba diusung oleh para menteri keuangan di masa Orde Baru.
1. Reformasi awal tak membuahkan hasil

Dikutip dari Media Keuangan, fakta menunjukkan masalah penyelewengan dan penyelundupan di Bea Cukai sudah mengakar lama. Ketika Ali Wardhana menjabat Menteri Keuangan pada 6 Juni 1968, korupsi dan penyelewengan dilaporkan sangat marak.
Majalah resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu mencatut, jurnalis Mochtar Lubis pernah menyoroti praktik "denda damai" yang disebutnya sebagai bentuk kongkalikong yang teratur antara Bea Cukai dan importir.
Lubis menyarankan agar pimpinan lama diganti dengan orang baru yang tidak terlibat dalam jaring-jaring vested interest yang sudah berakar lama.
Ali Wardhana mencoba menanggulangi korupsi dengan memberikan tunjangan khusus yang besarnya mencapai sembilan kali gaji, disertai tuntutan kenaikan pelayanan.
Namun, upaya itu tidak diiringi perbaikan kinerja. Saat mengunjungi Kantor Bea Cukai Tanjung Priok pada Mei 1971, Ali Wardhana melihat para petugas bersantai, bahkan mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.
Langkah mutasi pejabat eselon II antar unit yang dilakukan Ali Wardhana hingga 1978 pun ternyata tidak mampu memperbaiki kinerja. Penyelewengan dan penyelundupan terus berlanjut.
2. Kewenangan dicabut dan dialihkan ke SGS

Pada 1983, Ali Wardhana beralih jabatan menjadi Menko Ekuin, dan kursi Menteri Keuangan diduduki oleh Radius Prawiro. Perubahan juga terjadi di Bea Cukai dengan dilantiknya Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Hankam, sebagai Direktur Jenderal.
Meskipun Radius Prawiro saat pelantikan berjanji akan memerangi penyelundup hingga ke akar-akarnya, penyelewengan tetap terjadi. Aparat Bea Cukai masih dikeluhkan pengusaha, termasuk dari Jepang, karena praktik pungutan liar, ribet, dan berbelit-belit.
Melihat kondisi yang tak kunjung membaik, Presiden Soeharto akhirnya mengambil tindakan radikal. Setelah berdiskusi dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Soeharto ambil tindakan.
Dia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang. Berpegang pada Inpres tersebut, pemerintah memutuskan untuk mencabut sebagian besar wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kala itu, peran Bea Cukai dipercayakan kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerja sama dengan perusahaan swasta asal Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS). Itulah peristiwa pembekuan kewenangan yang menjadi preseden ancaman Menkeu Purbaya saat ini.
3. Kewenangan Bea Cukai kemudian dikembalikan

Fungsi dan wewenang Bea Cukai yang sempat dialihkan ke SGS/Surveyor akhirnya dikembalikan penuh kepada DJBC. Pengembalian wewenang dilakukan setelah Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.
UU tersebut, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 17 Tahun 2006, bertujuan untuk menggantikan produk hukum kolonial yang sudah tidak berlaku lagi. Selain itu, UU Nomor 10 Tahun 1995 juga memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya.
Di saat yang sama, UU Cukai juga diperbarui melalui UU Nomor 11 Tahun 1995, kemudian diubah dengan UU Nomor 39 Tahun 2007 untuk menggantikan kelima ordonansi cukai lama.

















