Pengusaha Nilai Kenaikan PPN Salah Momentum

Pemerintah menaikkan PPN menjadi 11 persen pada 1 April 2022

Jakarta, IDN Times – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan Apindo mendukung kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang mulai berlaku sejak 1 April 2022 lalu.

Namun, ia juga menyampaikan bahwa momentum kenaikan tersebut kurang pas, mengingat itu dilakukan di tengah berbagai ketidakpastian. Salah satunya situasi perang yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina, yang telah menyebabkan harga komoditas melonjak tajam.

“Memang PPN itu kami termasuk yang menyetujui pada saat pembahasan di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Nah, memang kita waktu itu menyetujui kenaikan ini 1 persen di tahun 2022. Tapi memang momentumnya sebetulnya kurang pas,” ungkapnya dalam webinar Infobank, Kamis (7/4/2022).

“Ini memang sedikit banyak pasti akan berpengaruh walaupun untuk bahan-bahan pokok tidak dikenakan PPN,” tambahnya.

Baca Juga: Sri Mulyani Tegaskan Tak Akan Tunda Kenaikan PPN Jadi 11 Persen

1. Kenaikan tarif PPN

Pengusaha Nilai Kenaikan PPN Salah MomentumStok minyak goreng (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Sebelumnya, pemerintah telah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen pada Jumat (1/4/2022). Ketentuan itu tertuang dalam pasal 7 ayat (1) poin a Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Namun di tengah kondisi saat ini, Hariyadi mengungkapkan bahwa pemerintah mungkin perlu meninjau kembali keputusan tersebut.

“Kami sebetulnya pada posisi yang mendukung. Hanya memang pada kondisi seperti ini, tentu pemerintah harus melihat kembali lagi apakah ini akan terus dilakukan dalam kondisi ini,” katanya.

Baca Juga: PPN Naik Jadi 11 Persen, Berikut Daftar Barang yang Terkena Dampaknya

2. Dunia sedang dilanda ketidakpastian

Pengusaha Nilai Kenaikan PPN Salah MomentumSeorang veteran batalion Tentara Nasional Ukraina melakukan latihan militer untuk warga sipil di tengah ancaman serangan Rusia di Kyiv, Rusia, Minggu (30/1/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Gleb Garanich/WSJ.

Pernyataan itu disampaikan Hariyadi saat dunia sedang dilanda berbagai permasalahan, seperti perang Rusia dan Ukraina. Ia menyebut bahwa perang telah menyebabkan harga energi hingga bahan pangan naik.

Ia mengungkapkan bahwa harga minyak sempat mendekati 120 dolar AS per barel kemarin, dan hari ini di 103 dolar AS per barel. Menurutnya, hal ini bisa memberi tekanan besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Lalu yang paling penting adalah kalau menurut pandangan kami, pada posisi keterjangkauan harga ini, yang perlu kita lihat kembali dimana memang kita tahu bahwa APBN kita tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Tekanannya juga cukup besar, dan itu juga berakibat pada pinjaman luar negeri. Tapi ini akan menjadi permasalahan di saat harga-harga ini tidak bisa dikendalikan karena ini nanti larinya bisa-bisa ke masalah politik begitu,” jelasnya.

Baca Juga: Sri Mulyani: Kenaikan Tarif PPN Tidak untuk Sengsarakan Rakyat

3. APBN mengalami tekanan berat

Pengusaha Nilai Kenaikan PPN Salah MomentumKilang minyak Pertamina. (Dok. Pertamina)

Dalam pemaparannya, Hariyadi mengatakan bahwa tekanan pada APBN bisa datang dari tingginya harga minyak dan komoditas lainnya.

“Kenaikan harga energi, BBM, batu bara dan gas ini mau tidak mau akan berdampak pada kenaikan biaya produksi, logistik dan transportasi. Ini jelas akan memberikan tekanan yang besar kepada APBN,” ungkapnya.

Menurut Hariyadi, APBN mengasumsikan harga minyak pada level 63 dolar AS per barel. Oleh karenanya, jika harga minyak menyentuh 100 dolar AS per barel, maka ini akan berdampak pada membengkaknya subsidi.

“Nah kalau naik sampai dengan 100 dolar AS, apa yang kami sempat diskusikan dengan teman-teman ekonom, itu akan berdampak kepada subsidi yang meningkat dari Rp134 triliun kepada kisaran kira-kira antara Rp180-Rp200 triliun,” ujarnya.

“Jadi ini tentunya sebagai negara yang sekarang ini lebih kepada yang mengimpor untuk bahan bakar minyak tentunya ini akan sangat besar sekali pengaruhnya di APBN. Apakah kita akan kuat menanggung beban dari subsidi yang semakin besar itu? Ini juga menjadi pertanyaan karena kalau ini terus-terusan juga pengaruhnya akan kemana-mana,” tegas Hariyadi.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya