Sri Lanka Krisis Pangan, Cadangan Devisa Kian Menyusut

Pemerintah Sri Langka membantah terjadi kelangkaan

Jakarta, IDN Times – Sri Lanka telah mengalami gangguan pangan di tengah lockdown ketat yang diberlakukan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19.

Menurut laporan BBC, makanan di rak-rak di supermarket yang dikelola pemerintah hampir habis, bahkan ada yang kosong. Dimana sisa stok barang impor seperti susu bubuk, sereal, dan beras juga sangat sedikit.

Namun, pemerintah menyangkal ada kekurangan pangan dan menyalahkan media karena memicu ketakutan.

Kejadian ini sendiri berlangsung setelah pemerintah menyatakan keadaan darurat dan kepala Bank Sentral Sri Lanka mengundurkan diri di tengah krisis valuta asing.

Baca Juga: Sri Lanka Nyatakan Darurat Pangan

1. Sri Lanka hadapi masalah ekonomi parah

Sri Lanka Krisis Pangan, Cadangan Devisa Kian MenyusutANTARA FOTO/Aji Styawan

Sebelumnya pada 30 Agustus lalu, Presiden Gotabaya Rajapaksa mengumumkan kontrol ketat terhadap pasokan barang-barang penting di negara itu. Pemerintah mengatakan langkah ini diperlukan untuk mencegah pedagang menimbun bahan makanan dan mengendalikan inflasi.

Langkah itu dilakukan di saat mata uang Sri Lanka terdepresiasi, menghadapi inflasi yang luar biasa dan beban utang luar negeri.

Perlambatan ekonomi negara ini menjadi perhatian khusus, karena sampai saat ini Sri Lanka memiliki salah satu ekonomi terkuat di Asia Selatan. Pada 2019, ekonominya ditingkatkan menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas oleh Bank Dunia.

Tetapi pada saat yang sama, beban utang negara juga meningkat, dari 39 persen Pendapatan Nasional Bruto (GNI) pada 2010 menjadi 69 persen pada 2019, menurut Bank Dunia.

2. Sri Lanka hadapi kenaikan harga makanan pokok

Sri Lanka Krisis Pangan, Cadangan Devisa Kian MenyusutANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Sebagai akibat dari krisis ekonomi, harga beberapa bahan makanan pokok telah meningkat. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, barang-barang seperti gula, bawang, dan kacang lentil telah meningkat harganya.

Sementara itu, setelah naik di bulan Mei, harga beras turun dan terus turun setelah diberlakukannya harga eceran tertinggi sejak awal September.

Peraturan darurat telah memungkinkan pemerintah untuk menyediakan bahan makanan dan kebutuhan lainnya dengan harga yang terkendali dengan membeli stok dari pedagang.

Menanggapi kelangkaan ini, kementerian keuangan negara itu mengatakan bahwa kelangkaan ini adalah hasil dari tindakan tidak bertanggung jawab beberapa oknum.

“Terciptanya kelangkaan buatan oleh oknum-oknum yang tidak bermoral jelas akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang tersebut,” ujarnya kepada BBC.

Pemerintah juga telah membantah keras bahwa kelangkaan akan terjadi.

“Kami dapat memberikan jaminan yang pasti dan tegas bahwa semua barang penting akan tersedia setiap saat,” kata kementerian keuangan dalam tanggapannya kepada BBC.

Sementara itu, Menteri Negara Bagian Ajith Nivard Cabraal menyalahkan oposisi atas laporan palsu tentang kekurangan pangan ini.

Di sisi lain, anggota parlemen yang kritis terhadap kebijakan pemerintah mengatakan undang-undang lain untuk memantau penimbunan dan kenaikan harga sudah tersedia dan keputusan untuk menyatakan keadaan darurat dibuat dengan itikad buruk.

“[Krisis] hanyalah manifestasi dari perebutan kekuasaan di mana presiden dan pemerintah tanpa perasaan mempertaruhkan nyawa warga, dengan harapan mengkonsolidasikan kekuasaan,” kata Eran Wickramaratne, dari partai oposisi SJB, di parlemen Sri Lanka.

Baca Juga: 10 Potret Sigiriya Rock di Sri Lanka, Situs Bersejarah di Atas Bukit!

3. Terjadi antrian panjang untuk mendapatkan makanan

Sri Lanka Krisis Pangan, Cadangan Devisa Kian MenyusutIlustrasi toko swalayan (dok. Humas Loka POM di Banyumas)

Namun, meski pemerintah menentang adanya kelangkaan, antrian panjang pembeli barang-barang seperti gula, beras, kacang lentil dan susu bubuk telah terlihat di negara itu.

“Saya di sini mengantri sekitar 45 menit dan saya hanya mendapat satu kilogram gula,” kata Kumaradasa, seorang warga senior.

Warga lain yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan kepada BBC bahwa supermarket milik pemerintah yang menjual gula dengan harga tetap telah ditutup di lingkungan kota Gampaha, dekat ibukota Kolombo.

Masalah kelangkaan pangan ini terancam menjadi lebih buruk akibat krisis ekonomi yang masih berlangsung hingga saat ini.

Sri Lanka kehabisan devisa dan uang yang dimilikinya digunakan untuk pembayaran utang. Cadangan devisanya mencapai 2,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir Juli, turun dari 7,5 miliar dolar AS pada November 2019, ketika pemerintah mulai menjabat. Negara ini memiliki utang luar negeri sekitar 4 miliar dolar AS, dan harus membayar bunga utang.

Semua ini pada akhirnya dikhawatirkan akan mempengaruhi barang-barang impor penting seperti gula, gandum, produk susu dan persediaan medis, yang semuanya mungkin akan menghadapi masalah pasokan yang lebih buruk.

Baca Juga: Korea Utara Hadapi Krisis Pangan Terburuk dalam Satu Dekade Terakhir

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya