3 Kisah Menarik Pelaku Seni dan Kreatif Manfaatkan NFT

Ada komunitas seni donasi bangun toilet di Gunung Himalaya

Jakarta, IDN Times - Saat keadaan menjadi sulit bagi beberapa orang, kesulitan itu lantas berbalik karena NFT. Setidaknya hal ini yang dirasakan seniman dan beberapa komunitas seni Indonesia. Salah satunya, muralis Budi Santosa.

Saat pandemik melanda, Budi mengalami nasib yang sama dengan ribuan pelaku seni di seluruh Indonesia. Sumber pendapatan yang biasa didapatkan dari kegiatan di luar rumah menghilang.

“Setelah setahun memutar otak untuk bertahan, saya banyak mendengar tentang NFT dari sebuah diskusi di Clubhouse,” kata Budi yang juga pendiri IDNFT, salah satu komunitas NFT Indonesia pertama serta terbesar yang memberdayakan perjalanan pelaku seni dan kreatif Indonesia di NFT, dalam keterangan tertulis, Sabtu (26/3/2022).

Saat itu, Budi mulai belajar dari kenalannya di luar negeri, karena saat itu belum banyak seniman Indonesia yang mengetahui tentang NFT. Ketika cukup paham, ia mulai membuat serta menjual NFT dan berhasil. Sejak itu, ia mulai mendapatkan penghasilan stabil dari NFT.

Budi dan dua tokoh lain yang terlibat dalam ekosistem NFT berbagi kisah sukses, dan perjalanan mereka tentang apa yang membuat mereka terjun di dunia NFT pada PechaKucha Night Jakarta Vol. 45 yang bertema “NFT: Beyond a Nifty Idea?” yang digelar secara virtual oleh Maverick Indonesia, Jumat, 25 Maret 2022 yang menyoroti kisah tiga sosok yang ikut terlibat dan menjadi kreator NFT.

Ketiga pembicara berbagi perjalanan menarik mereka yang menunjukkan bahwa NFT lebih berperan daripada hanya sekadar ide yang menarik, tetapi juga mempengaruhi status sosial, finansial, pendidikan, dan impian. Yuk simak cerita lainnya!

 

1. Dari komunitas NFT berbuah donasi pembangunan toilet di Gunung Himalaya

3 Kisah Menarik Pelaku Seni dan Kreatif Manfaatkan NFT(Dok. PechaKucha)

Pembicara lainnya, Dissa Kamajaya, yang memiliki nama artistik 0xtx, pernah bekerja 9 to 5 di sebuah perusahaan audio visual sebagai visual designer, sampai ia menemukan keberanian berhenti dari pekerjaan tetapnya dan mengejar impian NFT-nya.

Perjalanannya menjadi kreator NFT dimulai dari percakapan dengan teman-temannya di grup WhatsApp “Kekaisaran Dago”, yang awalnya didirikan sebagai ‘jasa titip’ minimarket. Percakapan itu beralih ke topik crypto trading dan NFT, yang akhirnya menarik banyak pengikut grup WA tersebut, termasuk seniman-seniman terkenal.

Grup WhatsApp itu berkembang menjadi komunitas NFT yang disebut DagoDao, di mana banyak seniman berkolaborasi dalam menciptakan SoiletsNFT, sebuah NFT audio-visual kolektif. SoiletsNFT berhasil menjual banyak NFT dan mendapatkan penghasilan tambahan, sehingga mereka memutuskan berdonasi, salah satunya berkolaborasi dengan organisasi mancanegara untuk membuat toilet di Gunung Himalaya.

 

2. Media konvensional juga mulai membuat NFT

3 Kisah Menarik Pelaku Seni dan Kreatif Manfaatkan NFT(Dok. PechaKucha)

Bukan hanya seniman individu, tetapi media konvensional juga mulai membuat NFT. Media nasional Republika, baru-baru ini merilis NFT “Hari Pahlawan” untuk menyebarkan konten edukasi kepada generasi muda tentang sejarah Indonesia.

“NFT yang kami rilis menggunakan ejaan bahasa Indonesia ‘jadul’ serta tampilan dan nuansa retro untuk menghidupkan sejarah bagi generasi sekarang,” kata jurnalis Republika, Nur Hasan Murtiaji, salah satu penggagas ide karya NFT ini untuk menarik minat masyarakat muda.

Yang membedakan Republika dengan kreator NFT lainnya adalah proses kreatifnya tidak disematkan individu, melainkan Republika sebagai asosiasi yang merilis konten edukasi sebagai aset digital pribadi berdasarkan autentikasi dan bernilai.

3. PechaKucha Night Jakarta wadah kreativitas komunitas Ibu Kota dan sekitarnya

3 Kisah Menarik Pelaku Seni dan Kreatif Manfaatkan NFT(Dok. PechaKucha)

PechaKucha (biasa dibaca “peh-chak-cha”) berasal dari istilah dari bahasa Jepang untuk menggambarkan suara percakapan di dalam sebuah ruangan yang penuh orang. Istilah ini dipinjam Astrid Klein dan Mark Dhytham, dua arsitek dari Klein Dhytham Architecture, untuk menggagas sebuah ajang berjejaring, berkumpul, dan bertukar gagasan.

Dengan format presentasi yang unik 20 gambar x 20 detik, masing-masing pembicara membagikan pengalaman, ide, juga perjalanan dalam waktu 6 menit 40 detik. PechaKucha pertama kali diselenggarakan di Tokyo pada Februari 2003. Kini, PechaKucha telah diselenggarakan di lebih 1.200 kota di seluruh dunia.

Jakarta adalah kota ke-177 di dunia yang menangkap 'virus' ide PechaKucha Night diikuti Kota Malang, Bali, Yogyakarta, dan Pekanbaru. PechaKucha Night Jakarta diharapkan dapat menjadi wadah kreativitas bagi komunitas Jakarta dan sekitarnya.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya