Sebut PLTU Pensiun Bisa Rugikan Negara, Sri Mulyani Banjir Kritikan

- Direktur CELIOS menanggapi kekhawatiran Sri Mulyani terkait pensiun PLTU Cirebon-1, menyatakan peningkatan grid-transmisi untuk energi terbarukan adalah tanggung jawab pemerintah.
- Kehawatiran Kementerian Keuangan, ESDM, dan PLN tidak berdasar karena kelebihan pasokan listrik di Jawa dan Sumatra menyebabkan kerugian finansial hingga Rp18 triliun pada 2023.
- Pensiun dini PLTU Cirebon-1 mendapat dukungan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan disebut sebagai bagian integral dari transisi energi yang cepat dan adil.
Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menanggapi pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati yang mengkhawatirkan potensi kerugian negara dari pensiunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Cirebon-1.
Sri Mulyani beralasan, pensiunnya PLTU tersebut akan memberikan biaya besar yang mesti ditanggung PLN dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), terutama terkait peningkatan grid-transmisi untuk energi terbarukan.
“Jika peningkatan grid-transmisi memerlukan investasi, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah melalui APBN dan kerja sama swasta untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Ini seharusnya tidak dipandang sebagai kerugian negara, melainkan sebagai keuntungan dari penghematan biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan,” kata Bhima dalam pernyataan resminya, dikutip Jumat (8/11/2024).
Penghentian PLTU batu bara pun kini menarik perhatian sejumlah pihak, dengan dukungan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang berencana menghentikan 13 PLTU, termasuk Cirebon-1 lebih awal dari jadwal.
1. Kekhawatiran pemerintah tidak berdasar

Menurut Bhima, kekhawatiran Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan PLN sama sekali tidak berdasar. Kendala infrastruktur dan finansial yang dianggap beban justru disebabkan oleh kelebihan pasokan listrik, terutama di Jawa dan Sumatra.
Hal itu justru mengakibatkan kerugian finansial yang diperkirakan mencapai Rp18 triliun pada 2023 karena kapasitas tidak terpakai. Bhima menambahkan, paradigma dalam mengindikasikan kerugian negara juga problematis.
“Peningkatan belanja pemerintah untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti bandara dan ibu kota baru IKN Nusantara, telah menguras sumber daya keuangan, sehingga mengurangi dana untuk proyek terbarukan. Apakah itu bukan kerugian negara?” kata dia.
Senada, Adhinda Maharani Rahardjo selaku Koordinator Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon) menekankan, narasi tentang potensi 'kerugian negara' akibat pensiun dini PLTU tidak relevan, terutama jika dilihat dari sudut pandang masyarakat di Cirebon Timur.
“Masyarakat sekitar telah bertahun-tahun merasakan efek buruk dari PLTU—polusi udara yang mengganggu kesehatan, kerusakan lingkungan yang memengaruhi mata pencaharian, dan kualitas hidup yang menurun,” kata dia.
Adhinda menambahkan, mengabaikan suara masyarakat hanya akan memperpanjang beban sosial dan lingkungan yang selama ini mereka tanggung.
“Jika pemerintah hanya fokus pada 'kerugian' finansial, kita perlu bertanya: bagaimana dengan kerugian yang dialami masyarakat di sekitar PLTU? Setiap hari mereka menghadapi risiko kesehatan yang nyata dan dampak lingkungan yang merusak keberlanjutan kehidupan lokal. Transisi energi ini bukan hanya soal menggeser infrastruktur, tetapi juga tentang mewujudkan masa depan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan,” tutur dia.
2. Indonesia tidak bisa ketinggalan dari negara di Asia Tenggara

Bhima mengatakan, Indonesia perlu bergerak cepat karena negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam telah berinvestasi besar dalam peningkatan transmisi untuk mendukung energi terbarukan.
Selain itu, mereka juga telah mengadopsi teknologi jaringan pintar untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan yang berpotensi menurunkan biaya bagi konsumen dan mendukung integrasi energi terbarukan dan dapat menjadi contoh bagi Indonesia.
“Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” ujar Bhima.
3. Pensiun dini PLTU bagian dari proses transisi energi yang cepat dan adil

Sementara itu, Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menegaskan bahwa pensiun dini PLTU batu bara adalah bagian integral dari proses transisi energi yang cepat dan adil serta memungkinkan Indonesia mengatasi dampak krisis iklim.
“Biaya untuk transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU, tidak bisa dipandang sebagai kerugian negara. Justru, biaya yang dikeluarkan akibat kelalaian dalam transisi energi itulah yang berpotensi menimbulkan kerugian dalam konteks yang lebih luas,” ujar Leonard.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya menyatakan, percepatan pembangunan smart grid akibat pensiun dini PLTU batubara merupakan investasi yang menguntungkan bagi Indonesia.
“Kementerian Keuangan harus berperan sebagai negara yang berani berinvestasi besar untuk kemajuan masa depan. Percepatan transisi energi dan pembangunan smart grid adalah kunci bagi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju,” kata Tata.
Tata menambahkan, investasi pemerintah yang besar di sektor kunci seperti teknologi informasi, aeronotika, medis, dan pengobatan terbukti menjadi kunci keberhasilan negara-negara maju.
“Pembangunan smart grid dan percepatan transisi energi akan memperkuat ketahanan energi, akses energi yang inklusif, dan mitigasi krisis iklim. Keengganan untuk membangun transmisi justru akan menimbulkan ongkos besar bagi Indonesia dalam lima hingga 30 tahun ke depan. Komitmen pemerintah yang jelas juga akan memberikan sinyal positif bagi publik dan investor untuk membiayai energi terbarukan di Indonesia,” kata Tata.