Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sederet Dampak Cukai Minuman Berpemanis ke Industri, Ada Ancaman PHK!

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty dalam diskusi media di Antara Heritage Center, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024). (IDN Times/Vadhia Lidyana)
Intinya sih...
  • Wacana penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dinilai bisa memberikan dampak negatif terhadap industri minuman.
  • Kenaikan harga akibat penerapan cukai MBDK dapat menurunkan permintaan produk, mengancam efisiensi tenaga kerja, dan berimplikasi pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
  • Telisa Aulia Falianty menyarankan pemerintah untuk menerapkan MBDK secara bertahap, dimulai dari tarif yang kecil terlebih dahulu, yakni Rp500-1.000 per liter.

Jakarta, IDN Times - Wacana penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dinilai bisa memberikan dampak negatif terhadap kinerja industri minuman. MBDK yang dimaksud adalah minuman teh dalam kemasan, minuman berkarbonasi seperti minuman soda, energy drink, kopi, konsentrat seperti sari buah, dan lain-lain.

Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, dampak terparah penerapan cukai MBDK bisa menyebabkan efisiensi di sektor industri, seperti efisiensi tenaga kerja alias pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ancaman itu bisa diawali dengan adanya penurunan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan, sebab penerapan cukai itu bisa meningkatkan harga jual.

“Kenaikan akan menurunkan demand, menurunkan permintaan produk. Karena kan seperti biasa kalau harga naik, itu kan pasti orang akan turun permintaannya,” kata Telisa dalam diskusi media di Antara Heritage Center, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024).

1. Permintaan menurun bisa berdampak ke kinerja pelaku industri

Ilustrasi Bisnis. (IDN Times/Aditya Pratama)

Telisa mengatakan, jika harga minuman berpemanis dalam kemasan itu naik, maka konsumen bisa beralih ke produk lain, seperti minuman segar. Akhirnya, produksi industri minuman pun menurun, dan bisa berimplikasi pada turunnya penyerapan tenaga kerja.

“Minuman itu substitusinya banyak sekali. Dan dikhawatirkan nanti masyarakat itu shifting, demand-nya itu turun. Nah industri ini, industri minuman kan juga menyerap lapangan kerja,” ujar Telisa.

Di tengah kondisi tersebut, pelaku industri bisa mengambil langkah ekstrem untuk menyelamatkan perusahaan, yakni melakukan PHK.

“Nanti dikhawatirkan menurut mereka, karena dengan turunnya permintaan terhadap minuman itu, kemudian mereka bisnisnya bisa terkontraksi, ya profitnya turun, kemudian nanti in the long run itu bisa menurunkan permintaan terhadap minuman, efisiensi kepada tenaga kerja, seperti itu,” ucap Telisa.

2. Pengusaha hadapi kenaikan UMP dan tarif PPN 12 persen

ilustrasi PPN 12% (IDN Times/Aditya Pratama)

Apalagi, saat ini pelaku industri menghadapi banyak tantangan, yakni kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk 2025. Dari sisi konsumen, dia menyinggung adanya kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025.

“Industri lagi banyak challenge, ditambah lagi industri lagi ketiban UMP 6,5 persen. Ini sebenarnya penting, tapi timing berbarengannya ini,” kata Telisa.

3. Penerapan MBDK disarankan secara bertahap, dimulai dari tarif rendah

Ilustrasi Bisnis. (IDN Times/Aditya Pratama)

Oleh sebab itu, dia menyarankan kepada pemerintah untuk menerapkan MBDK secara bertahap, dimulai dari tarif yang kecil terlebih dahulu.

Telisa menilai, wacana tarif MBDK saat ini terlalu tinggi, yakni Rp1.500 per liter untuk teh kemasan; dan Rp2.500 per liter untuk minuman berkarbonasi, energy drink, kopi, konsentrat, dan lain-lain. Dia menilai, angka yang ideal untuk tahap awal penerapan cukai MBDK ialah Rp500-1.000.

“Menurut saya penting, tapi terapkan dengan tarif rendah dulu di awal,” ucap Telisa.

Dia mengatakan penerapan secara bertahap bertujuan untuk membiasakan pelaku industri dan masyarakat terhadap kebijakan baru, dan tujuan mengurangi konsumsi gula masyarakat bisa tercapai.

Telisa juga menyarankan agar MBDK bisa diterapkan pada 2026, setelah pemerintah bisa melihat dampak dari kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tahun depan.

“Jadi buat masyarakat terbiasa dulu, jangan langsung Rp1.500-2.500. Jadi membiasakan dulu ke produksinya,” tutur dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us