AAJI Ungkap 4 Implikasi Penting Putusan MK terhadap Industri Asuransi

- Putusan MK berlaku untuk kedua belah pihak, mempengaruhi penanggung dan tertanggung serta agen dan pialang.
- Industri asuransi jiwa perlu melakukan pembaruan mendasar pasca putusan MK, termasuk review polis, peningkatan edukasi agen, dan sederhanakan prosedur klaim.
- Risiko besar jika prinsip utmost good faith ditinggalkan, termasuk penilaian risiko tidak akurat dan kemampuan membayar klaim menurun.
Bogor, IDN Times – Putusan MK No. 83/PUU-XXII/2024 menandai perubahan signifikan dalam paradigma hukum perasuransian Indonesia yang membuat perusahaan asuransi tidak lagi bisa memutus pembatalan polis atau klaim secara sepihak.
Dalam Media Gathering AAJI 2025, Kepala Departemen Legal AAJI Hasinah Jusuf mengungkapkan bahwa keputusan ini memiliki empat dampak krusial bagi industri.
"Pembatalan polis kini harus atas kesepakatan atau putusan pengadilan, bukan hanya berdasarkan klaim sepihak perusahaan," jelas Hasinah di Bogor, Rabu (25/6/2025) petang.
1. Putusan MK untuk kedua belah pihak

Ia menjelaskan, putusan MK menegaskan, prinsip ini harus berlaku untuk kedua belah pihak tidak hanya tertanggung, tetapi juga penanggung, termasuk agen dan pialang.
Oleh karena itu, AAJI mendorong penyesuaian pada SPAJ, formulir pemulihan, dan prosedur klaim agar lebih transparan dan adil. Dengan tidak adanya pembatalan sepihak, pengadilan berperan penting dalam menyelesaikan perselisihan secara objektif.
2 Langkah strategis industri asuransi jiwa pasca putusan MK

Putusan MK mendorong industri untuk melakukan pembaruan mendasar. Hasinah Jusuf menyebutkan empat strategi kunci yang kini ditempuh AAJI dan anggotanya yakni, review polis dan klausul pembatalan, peningkatan edukasi dan etika agen, penyederhanaan prosedur klaim, serta dorongan regulasi baru oleh OJK.
"Peninjauan menyeluruh terhadap dokumen asuransi kini menjadi prioritas. Agen diwajibkan memahami prinsip itikad baik dan mendampingi nasabah sepanjang proses asuransi," kata dia.
Tujuannya, lanjut Hasinah, agar proses klaim tidak berbelit dan lebih ramah nasabah. Disamping, OJK juga perlu memberikan regulasi yang memperjelas putusan MK.
“Kami berharap OJK mengeluarkan pedoman teknis agar implementasi putusan MK ini seragam,” tutur Hasinah.
3. Risiko jika prinsip utmost good faith ditinggalkan

Hasinah menjelaskan, AAJI menekankan bahwa mengabaikan prinsip utmost good faith dalam perjanjian asuransi berpotensi memicu kerugian besar.
Pertama, penilaian risiko menjadi tidak akurat sehingga premi yang dikenakan bisa menjadi terlalu tinggi karena ketidakpastian informasi. Kedua, tingginya risiko moral hazard memberi peluang bagi oknum yang berniat mengeksploitasi polis secara tidak sah. Ketiga, kemampuan membayar klaim menurun, yakni keuangan perusahaan bisa terganggu bila harus membayar klaim yang seharusnya tidak sah dan kepercayaan publik terhadap asuransi menurun
“Kalau perusahaan asuransi terus rugi, lama-lama masyarakat tidak percaya lagi,” tegas Hasinah.
4. Hak dan kewajiban baru nasabah dan agen pascaputusan MK

Dengan lahirnya Putusan MK No. 83, AAJI menggarisbawahi penyesuaian pada peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan.
Bagi nasabah atau pemegang polis, hak atas informasi yang transparan. Nasabah berhak tahu detail manfaat, risiko, dan pengecualian sebelum menandatangani polis. Selain itu, nasabah wajib memberi informasi yang jujur, karena informasi medis yang akurat harus diberikan agar polis tetap sah.
Sementara, kata dia, bagi agen asuransi ada kewajiban mengedukasi nasabah secara benar. Agen wajib menjelaskan manfaat polis serta mendampingi nasabah dalam proses klaim. Agen juga harus profesional dan beretika.
"Agen adalah wajah perusahaan. Mereka harus bertindak etis, profesional, dan beritikad baik," ujar Hasinah.