3 Kerugian Investasi yang Minim Risiko, Return Rendah Rawan Inflasi!

- Return rendah rawan inflasi, mengancam keamanan dana jangka panjang
- Return floating rate sulit diprediksi, membutuhkan dana likuid untuk darurat
- Mengharuskan menunggu lama untuk return rendah, lebih produktif jika dialihkan ke investasi lain
Instrumen investasi yang minim risiko memang andalan banget buat semua kalangan, nih. Umumnya dipilih bukan cuma karena cocok buat pemula, tapi juga demi keamanan dana secara jangka panjang, ya.
padahal, baik dua mata pisau, akan selalu ada risiko di setiap keuntungan yang ada, kedua hal itu selalu beriringan. Sebagai bahan evaluasi, berikut sederet ulasan terkait kerugian dari memilih instrumen investasi yang minim risiko.
1. Return rendah rawan inflasi

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa instrumen investasi dengan risiko tinggi tawarkan return yang juga gak kalah tinggi. Ya, nilai imbal hasilnya yang cukup fantatis itu sepadan dengan risiko lost yang ada.
Dengan kata lain, risiko dari isntrumen investasi yang minim risisko ialah imbal hasil yang juga ikutan minim. Hal ini gak menutup kemungkinan besaran nilai return gak sebanding dengan besaran nilai inflasi.
Tentunya, hal ini menjadi pertimbangan khusus lantaran salah satu tujuan utama dalam berinvestasi ialah melindungi nilai rupiah dari tergerusnya inflasi, ya. Jadi, kamu harus pintar-pintar memilih instrumen yang minim risiko tapi tetap cuan di tengah nilai inflasi yang semakin tinggi, ya.
2. Return floating rate yang gak bisa diprediksi

Menjadi bahan pertimbangan untuk tidak mentang-mentang jenis investasi yang minim risiko, akhirnya tanpa pikir panjang menaruh banyak dana. Apalagi, jika memilih instrumen investasi berjangka seperti deposito hingga obligasi, tanpa punya dana yang likuid atau mudah dicairkan.
Secara lebih kompleks, misalnya saja saat kamu gak punya dana likuid, sedangkan danamu tersimpan di emas yang punya return floating rate. Meski cenderung naik, bukan tidak mungkin harga emas berbalik menjadi turun saat jumlah penawaran lebih tinggi daripada angka permintaan.
Di saat harga emas turun, gak mungkin kam jual emas menjadi uang tunai. Dengan begitu, kamu perlu menyisihkan sebagai pendapatanmu menjadi dana likuid untuk bisa membiayai hal darurat maupun potensial yang butuh uang tunai.
3. Menunggu lama untuk return yang rendah

Instrumen investasi minim risiko dengan nilai return yang rendah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, sepaket. Alhasil, meski dana yang kamu tanamkan itu terbilang lebih aman. Tapi kamu harus menunggu dalam durasi tertentu untuk imbal hasil yang kecil.
Mau modal dalam nominal kecil maupun besar, penghitungan return gak akan setinggi instrumen yang high risk. Sama-sama nunggu dalam waktu tertentu, tapi nilai yang dipanen nominalnya jauh berbeda.
Bahkan, bisa jadi modal yang kamu tanamkan pada instrumen investasi yang minim risiko itu jadi lebih produktif saat diputar ke hal lain. Misalnya saja dialihkan sebagai dana usaha untuk peluang bisnis yang menjanjikan. Pun buat beli alat produktif yang bisa meningkatkan pendapatanmu. Coba renungkan.
Pada akhirnya, mau lanjut dengan instrumen investasi yang minim risiko atau tidak, semua pilihan berada pada tanganmu. Satu yang pasti, setiap pilihan instrumen pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jadi, pertimbangkan dulu dengan matang, ya!