Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[PUISI] Cermin Bangsa

ilustrasi melihat wajah pada cermin (pexels.com/Ismael Sánchez)

Di dinding megah istana keangkuhan,
terpajang sebuah cermin tua,
retak di setiap sudutnya,
namun tetap dibersihkan dengan kebanggaan semu.

“Lihatlah bangsa kita,” katanya,
“megah, kuat, berkilau seperti emas.”
Tapi retakan itu berbisik:
“Apakah kau buta?
Ini hanya pantulan palsu,
bayangan yang menipu mata.”

Bendera berkibar di angin sombong,
tapi kainnya lusuh oleh janji yang tak terjahit.
Lagu kebangsaan dinyanyikan lantang,
tapi nadanya tenggelam
di lautan kemunafikan.

Bangsa ini disebut perkasa,
namun di perutnya ada kelaparan.
Bangsa ini disebut adil,
tapi di tangannya tergenggam ketidaksetaraan.
Bangsa ini disebut bebas,
tapi di kakinya terikat rantai kepentingan.

Cermin itu terus menatap,
menyaksikan wajah-wajah yang penuh topeng.
Topeng kemakmuran yang menutupi kesenjangan,
topeng kebaikan yang menyembunyikan luka.

“Oh, bangsa besar,”
katanya sinis,
“kenapa kau bangga dengan bayang-bayang?
Kau hanya menjahit kebanggaan dari kain perca,
menutup borok dengan kain sutra.”

Di sudut cermin,
terlihat rakyat kecil,
berdiri tanpa suara,
wajah mereka adalah retakan terbesar.
Mereka adalah saksi bisu,
yang tak pernah diajak bercermin.

Bangsa ini,
apakah kau masih ingin bangga?
Atau sudah saatnya
kau tatap retakan itu dalam-dalam,
dan temukan kembali makna sejati,
dari kebanggaan yang hilang
di tengah dusta.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Erlindah - -
EditorErlindah - -
Follow Us