[PUISI] Haus

Satyalencana pada bungah pula nestapa,
tiada sanggah yang berani singgah mengetengahkan.
Hiruk-pikuk pawana, lalu lalang gundah gulana.
Hilir mudik gegana, dari jingga hingga jingga.
Namun, adakah rupamu tertampak di sana ?
Ia sudah haus, sejak pertama.
Roman sejuk, aroma teduh, raib begitu saja dari jemarinya.
Tinggal angan senyum rupawan tersisa.
Ia teguk sejumput demi sejumput sambil mengutip detik ingatan.
Sebab, pada samudera netranya, tirta sudah gersang semenjak lalumu, memang.
Namun, lagi-lagi ikrarmu mengguyur sekujur raga.
Meski setetes pun tak pernah bergulir memenuhi dahaga.
Ia telah belajar dari caramu menjinakkan sahara, rupanya.
Musim terus melangsir, dari panas, ganas, hingga cemas.
Masih tak cukup becus menatah bayang-bayang tubuhmu,
kembali ke pekarangan.
Baiklah, jika kemarau memang tak hendak bersepakat.
Enggan pula tuk tandas.
Kau harus tahu, bahwa hausnya untukmu tak berbatas.
Cepu, 26/04/2019
-IND-