[PUISI] Jubah Fajar

Fajar, jubahnya sepia. Kusut, sunyi
menyebut nama-nama tanpa bunyi
terbawa napas angin, berayun
di tenang daun gugur
di batas rindu yang abadi ingin kembali.
Kini sepi adalah semak belukar,
mengikat kenangan kuat-kuat,
berdansa dengan bayang yang bergetar
pada suatu simfoni senyap, tebal namun tajam.
Matamu dulu, rasi bintang di taman malam,
kini terlelap tak berujung.
Detik-detik itu jatuh, kelopak pada deras hujan
warnanya pudar, menyisakan senyap dan pilu.
Kursi kosong, suara yang terpatri,
sendiri, dililit entah dendam atau amarah.
Ah, mungkin itu hanya kekosongan
yang mengekalkan kekeringan dalam dadamu—
sebuah lubang, lubang yang dalam.
Di bawah kanopi mimpi,
kau coba merajut kembali—
benang-benang mengurai ke jantung hati,
sebab jalan sudah berduri
dan tak ada lagi yang bisa tumbuh kali ini.
Dingin musim terlalu ganas, renta,
mengikis setiap yang pernah kau kenal,
Tahun dan batu-batu.
Mengapa yang layak mati justru abadi?
mengapa yang tak pantas mati terlalu cepat pergi?
Lihat, mereka berputar-putar dalam lingkaran
ketakutan yang menggigit hingga dalam,
jari mereka dingin, mencengkeram kesakitan
Melukis angan dengan warna hitam.
Bayang-bayang berbicara pelan,
berbahasa luka tanpa suara.
Tentang rasa sakit yang terselip pada kata,
tentang pelarian yang merupa mimpi hampa.
Disana mereka, sunyi dan kelam,
di pusaran gempa yang tak pernah diam.
Dalam ruang gelap yang tak pernah padam
dan ketakutan yang tetap merayap,
lalu hidup—atau mati untuk terus melawan?
Setiap malam, setiap hari,
dalam irama yang pilu,
kita menari mengitari gelap,
dalam kepedihan yang sama, lagi dan lagi.