[CERPEN] Air Mata Beku

Kehidupanku yang terlalu fana...

Bulan telah meninggalkan malam sesak. Kembali aku bersujud ke hadirat Tuhan atas rahmat-Nya yang begitu besar. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Segera kuambil tas kucel yang bau di sudut ruang ruang persegi. Aku keluar dari bilik kecil ini dan berlari ke luar menuju rumah seorang agen langgananku. Setiap hari aku harus berkutat dengan teriknya lingkaran kuning di langit, memproduksi ribuan bulir peluh, dan senanitasa menelan baunya asap kendaraan setiap hari. Entah apa yang ada di pikiranku sehingga aku sudi melakukan hal ini setiap hari. Walaupun penghasilan yang kudapat setiap hari tak sebanding dengan beratus sentimeter tulang yang kubanting perdetiknya. 

Sesampainya aku di depan pagar berwarna hijau, mataku melesat ke sudut-sudut cahaya. Tampak seorang laki-laki tua duduk di atas kursi goyangnya sambil menyeruput kopi panas di mejanya. Kapan aku bisa melakukan hal itu? Kapan aku tak perlu mengucurkan keringat lagi? Pertanyaan yang tak pernah terjawabkan oleh waktu yang panjang ini.

“Lebih baik kamu masuk daripada berdiri terus di depan pagar itu!!” Teriak laki-laki tua itu. Aku masuk dan tegak di hadapannya. Kupandangi ubin-ubin pancarona ini. 

“Ini yang harus kamu jual hari ini, upayakan bisa laku semuanya!” Kata bapak tua itu sembari memberikan aku setumpuk kertas. Segera aku keluar dari pekarangan rumahnya dan berjalan melewati batuan kerikil yang menusuk, semuanya masih terasa sama. Terlebih di hati dan pikiranku, terbesit untuk mengikuti logika. Tak ayal, tembok yang kulewati menjadi luapan amarahku. Tak kuhiraukan orang-orang yang lalu lalang itu menilaiku aneh ataupun gila.

Namun, aku tak bisa menahan ini semua. Sudah beberapa bulan kupendam rasa dendam ini, walaupun beberapa kali dapat kulampiaskan ke tembok-tembok bodoh yang ada di hadapanku.

Senyuman manusia penipu ulung selalu ku lihat di jalanan ini. Jalanan yang selalu dipenuhi oleh orang-orang yang berpikir pendek bahkan orang-orang yang katanya akan memenuhi surga nantinya. Entah kapan aku bisa mengakhiri pekerjaan ini. Sepertinya paru-paruku yang dahulu bersih, sekarang sudah penuh dengan asap. Jangankan untuk berkumpul dengan kawan-kawanku, sekadar sejenak melepas penat saja tak bisa kulakukan. Memang ini pekerjaan paling melelahkan yang pernah kulakukan. Kujejalkan koran-koran ini ke tuan-tuan yang haus akan kasus terbaru demi menjejali perut ku yang kosong. 

Tuhan, apa yang telah kulakukan sehingga semua ini bisa terjadi? Tak pernah aku berharap seperti ini. Namun, aku tetap bersukur. Masih ada sosok yang menopangku hingga saat ini. Setiap kuurasakan dinginnya kerikil-kerikil malam, hatiku terasa tenang. Aku percaya pasti itu adalah ibu ku. Pahlawan hidupku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Saat perjalanan pulang, aku tersadar bahwa ada sesuatu yang sangat mengiba pulang tubuhku. Kupacu langkah di atas tanah berdebu batu. Aku tertegun di ujung jalan. Samar-samar terlihat postur tubuh yang tinggi, berotot, dan rambutnya dipotong pendek sedang berdiri di depan rumahku. Tak begitu jelas garis-garis wajahnya. Hitamnya malam ini, membuatku susah melihat orang itu dari kejauhan. 

Aku ingin berlari, tapi jangan pernah merundung dagu terngiang di telingaku, kukuatkan tekad. Kuarahkan langkah menemui orang itu. Entah mengapa, dadaku terasa sesak Teramat. Bara yang dulu padam kembali berapi seperti kayu bakar yang terpanggang beberapa bulan yang lalu. Belum sempat aku melihat wajahnya dengan jelas, terpantulkan suaranya yang khas ke arah telingaku.

 “Kau hanyalah seorang tikus got. Kau tak pantas untuk hidup," hati dan pikiranku sudah tak sejala saat mendengar suara laki-laki tua itu. 

Kuajak ia masuk ke dalam rumah kecilku. Ku telanjangi matanya yang tajam dengan mataku yang tumpul. Perasaan ini terus bercampur. Nurani juga sudah tercabik dengan percikan-percikan bara yang mulai membumbung ke batas sadar. Ia mengerogoti dengan hebat ke benakku. Terlintas gagasan yang membuatku menjadi semangat. Gagasan yang sempat terlintas saat semua kejadian busuk itu terjadi. Namun, masih ada yang harus di selesaikan. Apa yang harus kukatakan kepada penipu-penipu lainnya? Aku percaya, dialah orang yang menjadi penyebab utama dukaku sengsara dan sengsaraku berduka.

Kukuatkan langkah-langkahku yang kaku. Berderit papan kayu ini tiap tumitku menyapanya. Dengan sekejap pada kelengahannya, kulemparkan vas bunga kaca peninggalan ibu ke arah laki-laki tua yang biasa mereka sebut sebagai ayahku. Orang tua itu mengumbar senyum kepicikannya. Tak kuhiraukan raungannya. Segera kubenamkan kepalanya kedalam kursi reot ini. Tak terdengar lagi jeritan minta tolong. Untuk terakhir kalinya, kuhantamkan badannya ke kayu usang sekali lagi.

Darah segar menetes menodai kursi reot yang didudukinya beberapa menit lalu. Kupandangi mata terbelalaknya. Mata tajam yang dahulu ku lihat membunuh ibu dan adik-adikku, kini hanya sebuah mata kosong minta tolong ke mahluk apa pun untuk dapat membuatnya hidup kembali dan memutar kembali semua kejadian ini. Diriku yang seketika menjadi srigala buas yang haus darah kini kembali menjadi domba kecil yang tak tau apa-apa. Kepolosanku sudah dihantui dendam.

Tak seorangpun ada disekitarku. Darah terus membeku. Mayat itu mulai memutih dan menjadi barang antik dalam rumahku saat ini. Perasaan dendam sirna bersama adegan per adegan yang kulakukan beberapa jam lalu. Kupandangin langit biru bertabur pasir indah di sana. Air mata yang dahulu beku, kini kembali luluh oleh kelembutan ibu. Ibu, engkau pasti bangga melihatku saat ini. Engkau pasti sudah tersenyum puas dari surga. Jaga adik-adiku di sana ya bu! Biar kulanjutkan hidup ini hingga air mata ini benar-benar kembali beku.***

Agatha Kristia Photo Writer Agatha Kristia

?My old : 20th ?Seorang Mahasiswi ?Masih penulis amatiran ?Terimakasih sudah mampir melihat-lihat isi cerita aku

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya