[CERPEN] Maaf, Kali Ini Aku Gagal Menyelamatkanmu

Sebuah erangan panjang merobek kesunyian malam itu

Suara deru mesin mobil itu seketika membuatmu bangkit dan terduduk kaku. Aliran darah di tubuhmu seketika menjadi lebih cepat dari biasanya. Ada degup kencang tak beraturan yang kamu rasakan di jantungmu. Dalam hening, kamu yakin siapa pun bisa mendengarnya. Entah sejak kapan–kamu tidak ingat atau berusaha tidak mengingatnya– perasaan itu kerap menyergapmu, menghadirkan gigil di sekujur tubuhmu. Selalu begitu.

Rasanya, hampir setiap hari dari hidupmu dipenuhi oleh kecemasan dan ketakutan. Perasaan tidak nyaman itu sudah kamu rasakan sejak kecil. Yang tersimpan kuat di memoriku adalah ketika kamu terkunci di kamar mandi. Oh, bukan, tapi kamu sengaja dikunci di kamar mandi entah karena apa. Tak seorang pun berani mengeluarkanmu bila tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu dan Ibumu.

Kamu terduduk di kamar mandi, tak sadarkan diri. Tangan dan kakimu begitu dingin dengan kuku yang pucat dan membiru. Dokter bilang, kamu mengalami hypotermia. Benarkah? Saat itu, aku terlalu kecil untuk mengerti. Aku hanya bisa menatapmu dengan harap-harap cemas. Kumohon, jangan tinggalkan aku, aku masih ingin menjalani hariku denganmu.

“Kita harus kuat. Kita harus mampu bertahan, demi Ibu,” bisikku lirih dan terbata. Selanjutnya, aku hanya bisa terpaku, kelu. Menatap tubuhmu yang terbujur kaku

Ya, bukankah itu janji kita untuk selalu bersama menjaga Ibu. Melindunginya. Aku selalu memegang janji itu karena janji itu yang membuat kita tetap bertahan. Lebih kuat. Terutama kamu. Ya, kita harus saling menguatkan demi Ibu. Tepatnya, aku yang harus selalu mengingatkanmu untuk itu.

Sebenarnya, ada satu masa ketika kamu dan Ibumu bisa tertawa lepas. Ibumu menghujani kamu dengan ciuman rasa sayang serta usapan lembut di kepalamu. Tapi, rasanya sudah lama sekali kenangan manis itu terjadi. Benar, terlalu lama. Kejadian di kamar mandi itu bukan yang pertama dan terakhir bagimu. Tepatnya bagi kenyamanan hidup kalian.

Lelaki itu–orang yang harus kamu panggil Ayah–telah menorehkan luka yang teramat dalam di hidup kalian. Bagaimana bisa, lelaki yang pernah mencintai Ibumu dan berkomitmen untuk menjaganya sampai maut memisahkan, berubah sebagai sosok yang menakutkan? Sosok yang seharusnya memberi kenyamanan dalam hidup kamu dan Ibumu, berubah menjadi monster yang mengerikan.

Tak hanya luka fisik yang kalian rasakan, tapi juga batin. Lelaki itu sukses menumbuhkan akar pahit di hatimu. Cacian, kata-kata kasar, serta ayunan tangan dan kaki kerap mendarat di tubuhmu. Pun, tubuh Ibumu yang cuma terdiam dengan parit kecil di matanya. Kamu tahu, Ibumu tak akan meraung, berteriak, atau apa pun itu untuk menumpahkan perasaannya karena hal itu akan membuat lelaki itu semakin kalap.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kalian–ibu dan anak–hanya bisa berpelukan saat lelaki itu meninggalkan kalian dengan raut dan senyum puas. Tak ada lagi sedu sedan atau isak tangis karena kalian sudah tidak merasakan nyeri lagi. Lelaki itu telah menorehkan luka yang sempurna di lubang hati kalian.

Benarkah dia Ayahmu, suami Ibumu? Pertanyaan itu selalu jejal di kepalamu. Aku tahu, kamu sangat membencinya. Mungkin Ibumu juga. Yang tidak kamu mengerti, mengapa Ibumu tidak membawamu pergi dari rumah neraka itu? Menurutmu, Ibumu terlalu lemah. Kamu benci kenyataan itu.

Suara bantingan daun pintu membuatmu tersentak. Kamu beringsut dan membuka pintu kamarmu sedikit. Bau alkohol seketika menguar dan menusuk tajam penciumanmu. Lelaki itu berjalan setengah terhuyung ke arah kamar Ibumu. Menggedor pintunya seraya berteriak keras merobek hening malam. Namun, pintu itu tak juga terkuak. Kamu masih mengintip. Detik itu pula mata kalian bertemu. Kamu terpaku. Raut cemas seketika menyapu wajahmu. Kakimu mulai goyah oleh getar, sementara degup cepat di jantungmu semakin menghebat.

Lelaki itu segera memutar tubuhnya. Sedikit terhuyung berjalan ke arahmu. Bau alkohol semakin menguar di sekitarmu. Kamu merasa mau muntah menciumnya. Namun, kamu berusaha bertahan dengan lutut gemetar. Kamu menguatkan hati. Kamu sudah meyakinkan dirimu.

“Harus malam ini,” gumammu dengan debar hebat di jantungmu.

Satu langkah ... dua langkah ... tiga langkah, lelaki itu semakin mendekat dan kamu semakin terpaku, kaku. Raut wajahmu mengeras dengan rahang terkatup. Tinggal dua langkah ke arahmu, perutmu mendadak mual. Namun, entah kekuatan apa yang mendorongmu, kamu menerjang maju dengan kekuatan penuh. Sebuah erangan panjang merobek kesunyian malam itu. Detik itu pula pintu kamar Ibumu terkuak. Ibumu cuma mematung di ambang pintu. Tanpa suara, tanpa tangis, hanya tatapannya yang berubah kosong. Hampa.

Kamu menoleh ke arahku. Sebilah pisau berlumur darah terjatuh dari tanganmu. Lelaki itu terkapar di depanmu. Kamu tersenyum ke arahku. Senyum sama yang biasa terlukis di wajah lelaki di hadapanmu. Sebuah jalan panjang kesunyian terhampar di depanmu. Sekeras apa pun itu, aku, sebagai sisi baik dari dirimu akan selalu bersamamu. Maaf, kali ini aku gagal menyelamatkanmu.*

Baca Juga: [CERPEN] Lelaki dengan Nyala Api di Dadanya

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya