[Cerpen] Redum

Kalanya langit yang mendung jadi teman diri yang redum

Rasanya, gemuruh petir bukan lagi jadi pemilik posisi pertama daftar hal yang paling menakutkan dalam semesta saya. Sejak sang dua manusia yang meminta dirinya dipanggil ayah dan ibu punya kegemaran baru, saling melempar tatapan sinis, serta tak lupa gaungkan sentak bentak yang berhasil buat saya luluh lantak.

Rasanya, rumah bukan lagi jadi tempat yang paling saya sukai untuk pulang usai bertemu dengan sekian perihal yang buat lelah. Sejak kalanya sang dua orang terkasih lenyapkan hangat yang semula mendekap.

“Kamu harus paham, ibu dan ayah sudah tidak bisa bersama lagi,” kalimat ibu mengetuk indra pendengaran saya.

Curang, kalimat itu masuk tanpa izin! Amat menyusahkan rasanya karena kini dada saya luar biasa sakit. Setidaknya, tolong beritahu bagaimana cara obati sakitnya ketika saya bahkan tidak melihat lukanya. Bagaimana caranya supaya hujan yang mengalir dari dua mata saya lekas reda. Bagaimana caranya, untuk jadi paham seperti yang ibu minta.

Atau bagaimana caranya hentikan langkah ayah yang buru-buru keluar ketika dunia bahkan turut menemani saya menangis. “Ayah, mau kemana? Di rumah aja, ya! Di luar sana hujan, nanti ayah kedinginan," susah payah saya berujar walau sepertinya sia-sia.

Lantang suara saya hingga tak bisa beliau hentikan langkahnya. Kurangkah jelas kalimat saya sebab keluar dari mulut yang nyaris tercekat dengan iringan isak tangis yang sukar dihalau. Atau memang hilangkah ingin beliau untuk tetap jadi sosok favorit di hidup saya seperti hari-hari yang sebelumnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ayah, jangan kemana-mana. Aku janji gak akan jadi anak nakal. Aku janji! Masuk lagi ... tolong.”

Benar tidak bisakah tetap tinggal? Agar bisa saya dekap erat-erat raga beliau sampai urung niatnya tinggalkan kami di rumah yang sudah lewat tenggat hangatnya. Tidak bisakah berbalik dan katakan semua ini hanya skenario belaka, tak masalah kalau kejutan ulang tahun saya dipercepat 13 hari.

Beliau memutar badannya buat saya lari guna memeluknya erat. Saya tidak suka perubahan, saya tidak suka ada yang hilang, saya tidak suka ditinggalkan. Maka, jangan buat ayah pergi jadi satu-satunya pinta yang saya angkasakan saat itu.

“Ayah gagal, ayah minta maaf. Tinggal dengan ibu, ya? Kita tidak bisa seperti dulu lagi.”

Ah, ternyata memang sama sekali tidak bisa. Ayah akan tetap pergi. Dekap yang saya usahakan tak cukup erat untuk menahan beliau. Seluruh cerita hari ini mutlak skenario Tuhan; bukan kejutan ulang tahun yang diawalkan. Pada akhirnya ayah memihak kesalahannya; memilih hidup bahagia dengan keluarganya yang lain. Pada akhirnya ibu juga akan sama, 'kan? Bertemu manusia baru dan punya keluarga baru yang jauh lebih bahagia. Tentu saja, ibu juga harus dilingkup harsa.

Bukan masalah. Pada akhirnya saya masih punya diri saya sendiri. Mereka bilang hidup harus tetap berjalan. Ayolah, tidak akan ada yang berbeda dengan hidup seorang diri. Hanya soal waktu sampai lukanya terobati. Bahagia itu masih tersisa untuk manusia seperti saya. Benar, 'kan?

Baca Juga: [CERPEN] Lelaki yang Menari

Auliya Photo Writer Auliya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya