Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Ahmad Mati di Dalam Mulut Bitna

Langit malam dan bulan. (pexels.com/joonaskaariainen)

“Hal yang paling aku sesali dalam hidupku adalah menikah denganmu.”

Bagai disambar petir siang bolong, kepercayaan diri Ahmad gulung tikar. Sedari kecil, Ahmad seringkali diragukan, beranjak dewasa dia dijadikan contoh laki-laki yang gagal menimang kehidupan. Ahmad sudah terbiasa dihantam omongan jahat orang-orang, tapi kali ini sang istri tercinta sukses meremukkan harga dirinya.

“Bitna… sayang—”

“Kau main dukun, ya? Sampai-sampai orang tuaku sudi menerimamu sebagai menantu?” tuduh Bitna, matanya berapi-api memandangi Ahmad dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Padahal mereka anti dengan orang miskin,” sambungnya.

Ahmad skakmat! Terkadang Ahmad lupa bahwa dia secara sadar mempersunting Bitna, perempuan yang tidak suka dipaksa, perempuan yang akan menghancurkan segalanya yang dirasa membuatnya menderita. 

“Bitna, dengarkan aku—”

“Bitna…. Bitna dan Ahmad. Kau ini bodoh, ya? Dari nama saja sudah berbeda, mana cocok seorang Bitna bersanding dengan buruk rupa Ahmad!” Bitna benar-benar membungkam Ahmad.

Bagai lampu yang tiba-tiba hidup kembali karena sebelumnya mati cukup lama, Ahmad langsung tersadar bahwa ucapan Bitna benar adanya. Kebodohan Ahmad bertambah seribu, seharusnya sedari awal dia tidak mengumbar janji-janji benyek di hadapan orang tua Bitna. Ahmad menjanjikan istana megah, kebun yang subur, air bersih, dan Bitna akan tetap cantik saat menjadi istrinya. Ahmad ingat sekali, binar mata orang tua Bitna langsung berhamburan mendengar tingginya kebohongan Ahmad, hal itu kontras dengan tangisan Bitna ketika mengetahui dia akan dijodohkan dengan laki-laki gila buruk rupa. 

“Kau buta, ya, Ahmad? Gubuk dibilang istana, tanah kering kerontang didoakan supaya subur, air bau dianggap bersih. Lihat aku!” perintah Bitna.

Ahmad berubah menjadi anjing yang menuruti perintah majikan.

“Apakah aku masih cantik? APAKAH AKU MASIH CANTIK SESUDAH MENIKAH DENGAN PECUNDANG SEPERTIMU?” napas Bitna ngos-ngosan. 

Memang, kata cantik tidak ada lagi di tubuh Bitna, yang ada hanya sosok perempuan kumal yang kelelahan dihantam kemiskinan. Padahal, ketika masih gadis, Bitna bagai bidadari yang turun dari kahyangan, membuat pemuda kehausan melihat kesegarannya. Namun, sekarang Bitna menjadi gersang, telaga kemakmuran telah kering dari hidupnya. Kasihan sekali, Bitna, bahkan orang tuanya tidak membantu apa-apa.

“Kau apakan Ibu dan Bapakku?” tanya Bitna lagi.

“Tidak aku apa-apakan, Bitna. Aku hanya—”

“Membodohi mereka?” ketus Bitna.

Bitna putus asa melihat Ahmad yang tertunduk lesu, makin hari sikap Ahmad semakin membuatnya naik pitam! Dia sangat percaya bahwa Ahmad bersengkongkol dengan dukun sehingga membuat orang tuanya yang selektif memilih menantu malah terjebak dalam perangkap Ahmad. Dia ingat sekali suara tangisan panjang karena perjodohan beberapa tahun yang lalu, keputusan sepihak yang membuatnya harus berpisah dengan kekasih tercinta—Raka. Bitna tersiksa tiap malam karena mengingat wajah kecewa Raka saat isu pernikahan Bitna dan Ahmad tersebar ke penjuru kampung. Sampai-sampai Bitna dijuluki perempuan cantik yang tak pandai memilih pasangan.

Bitna tak ada pilihan lain. “Ahmad… suamiku,” suaranya melunak.

Jantung Ahmad berdesir, perasaan senang ini persis seperti pertama kali matanya terpenjara akan cantiknya Bitna di teras rumah besar beberapa tahun lalu. Bibir yang tadinya pucat kembali merona, senyumnya merekah.

“Aku hamil,” ujar Bitna.

Ahmad tersentak, matanya berkaca-kaca. “Kamu hamil?” tanyanya memastikan.

Bitna tersenyum memandangi wajah suaminya, dia terdiam sejenak menikmati atmosfer yang tadinya panas berubah menjadi haru biru penuh cinta. “Iya.”

Ahmad menangis. Malam ini menjadi malam yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Bitna telah kembali dan sekarang bersama buah hati mereka. Ahmad memeluk erat tubuh Bitna, dicurahkannya semua perasaan cinta agar melebur ke dalam tubuh istrinya, berharap janin kecil di rahim Bitna ikut merasakannya. 

“Terima kasih, Bitna,” ujarnya tersedu-sedu.

“Aku hamil anak Raka. Mantan pacarku.”

Telinga Ahmad sesak napas. 

“Nikmat sekali, Ahmad. Aku tak bisa lupa bagaimana rasanya.” Bitna mengusap punggung suaminya dengan penuh kasih sayang. “Kau juga harus berterima kasih padanya.” Bitna terkekeh. 

Ahmad langsung mati di dalam mulut Bitna.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
deepbluemind .
Editordeepbluemind .
Follow Us