Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Balonku Ada Lima

Pinterest

Taman kota malam ini tampak ramai. Muda-mudi menikmati malam minggu beralaskan bangku taman. Anak kecil dan ayah ibu mereka bermain kesana kemari. Para pedagang berlalu lalang menyuguhkan dagangan mereka kepada pengunjung taman. Namun ada sesuatu yang janggal. Di sudut taman itu sosok pedagang balon terlihat aneh, ia tak bergerak sama sekali. Wajahnya samar-samar di bawah lampu taman yang berkelip. Pakaiannya lusuh, rambutnya keras seperti tak pernah dikeramas. Sebuah tape usang disisinya memutarkan lagu anak berjudul "balonku ada lima", mungkin untuk memancing anak-anak agar tertarik membeli balonnya. Tapi tak ada satupun pengunjung yang menyadari kehadirannya.

"Bro, liat deh tukang balon itu, aneh," Zola menyadari keanehan sosok tukang balon itu.

"Apa sih lho, biarin aja kenapa," ucap Mario kesal. Zola mengganggu keseruan obrolan mereka.

Zola terus memandang sosok lelaki itu. Tatapannya kosong, lebih persis mayat hidup dibanding manusia. Tiba-tiba lelaki itu menatapnya tajam, penuh ancaman. Zola bergegas memalingkan muka. Dadanya berdebar ketakutan, "Bro kita pulang sekarang."

"Lu kenapa Zo? Muka lu kayak liat hantu aja," tanya Jamal.

"Udah jangan banyak nanya... kita pulang sekarang. Nanti gue kasih tau."

Mereka pergi dengan kebingungan yang dibawa Zola. Anak remaja ini nampak memapahkan kakinya tergesa-gesa. Masih terbayang sosok lelaki menakutkan itu dipikirannya.

"Zo!" Teriak Gaga, "Lu kenapa sih?"

Di sebuah jalan kecil sepi nangelap, Zola mulai menceritakan semuanya. Tatapan lelaki pedagang balon itu seperti mengancam jiwa dia dan teman-temannya.

"Penakut banget sih lu! Dia mungkin lagi kelaperan, atau mungkin cuma orang gila," gubris Jamal berusaha menenangkan anak remaja itu.

"Orang gila yang bisa membunuh gua. Bahkan kalian semua!" Pungkas Zola seolah mengancam.

Di sela-sela obrolan mereka, lagu anak yang didengar Zola di taman tadi terdengar jelas dijalana sepi itu. Tepat di belakang mereka. Remaja-remaja itu membeku, tubuh mereka berdesir. Tidak ada satupun yang berani menolehnya seolah mereka percaya cerita Zola tadi.

Jamal memberi aba-aba tangan sembari membisik pelan, "satu, dua, tiga, lari!"

Mereka berlari mengeluarkan seluruh tenaga mereka sampai ketempat yang lebih ramai dan terang. "Gila! Gue kira lu cuma halu Zo," kata Mario terengah.

"Gue bilang apa!" Jawab Zola, "Tapi ya sudahlah, sekarang kita sudah aman."

"Tunggu, tunggu. Tadi lu bilang, lu liat lelaki gembel itu ditaman?" Jamal menyadari sesuatu, "Lalu kenapa dia bisa tiba-tiba berada di belakang kita padahal lu nyuruh kita jalan cepet-cepet. Berarti dia pasti akan mengikuti kita!"

"Ah sudahlah gak usah panik gitu. Lagian dirumah kita kan masih ada orang, kalau dia datang ya tinggal teriak. Gampang," ucap Jamal menenangkan teman-temannya kembali.

Merekapun pulang menuju rumah masing-masing, meskipun perasaan terancam masih tergambar dipikiran mereka.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Di dalam kamarnya, Zola masih terlihat pucat atas kejadian tadi. Jendela yang mengarah tepat dijalan yang selalu sepi ditutupnya dengan gorden. Pintu kamar dikunci rapat, lampu kamar sengaja dinyalakan. Ia mengamankan dirinya dari ancaman yang mungkin terjadi.

Berbaringlah ia dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Jantungnya masih tidak mau berhenti berdegup kencang. Nafasnya tak beraturan, suhu tubuhnya memanas.

"Balonku ada lima, rupa-rupa

warnanya....."

Mata Zola mengencang, lagu itu terdengar lagi, terdengar samar di luar rumahnya. Lagu itu terus berputar, ia semakin panik. Ia tak berani melihatnya.

Beberapa menit, lagu itu masih saja mengancamnya. Dikumpulkannya keberanian. Ia bangun dan membuka sedikit gorden jendelanya. Sosok lelaki tua itu berdiri di pinggir jalan dengan tatapan kosong. Empat buah balon dipegangnya dengan erat.

"Astaga, semoga ini mimpi." Zola menutup kembali gordennya. Tubuhnya melemah, ia bersandar pada dinding kamar dengan wajah yang pucat. Lagu itu masih tetap bersuara, bahkan semakin mendekat. Ia kembali melihatnya. Kini yang dilihatnya semakin nampak menyeramkan. Lelaki itu berdiri tepat di tengah jalan dengan sosok anak remaja yang terbaring bersimbah darah di sisinya. Balon yang dipegangnya pun hanya tersisa tiga. "Jamal!"

Zola semakin ketakutan. Ia berlari menuju pintu kamar. "Sial! Kenapa tidak bisa dibuka!"

Ia mencoba menggedor pintu, meminta bantuan ayah ibunya. Masih belum ada bantuan. Wajahnya mulai berkeringat. Jantungnya semakin tak dapat diatur. Ia kembali memberanikan diri mengintip lelaki itu dari jendela. Tak dapat dipercaya, kini lelaki itu berada di pintu pagar rumahnya bersama dua sosok remaja yang mati. Jamal dan Mario.

Tersisa dua balon. Zola mengambil ponsel dari sakunya, ia berpikir untuk mencoba menelpon Gaga. "Angkat Gaa, angkat!"

"Hallo," Gaga mengangkat telpon.

"Ga, bahaya Ga!"

"Bahaya kenapa Zo?" Gaga kebingungan.

"Tukang balon itu ngebunuh Jamal sama Mario... Ga!"

"Ah halu lu. Jamal lagi sama gue, dia nginep di rumah gue. Mario juga lagi mabar sama Jamal, pea. Jangan nakut-nakutin lah."

Zola mulai kebingungan. Ia yakin tubuh yang dibawa lelaki itu adalah Jamal dan Mario, bajunya sama persis dengan yang dipakai tadi ditaman. Lagu itu tiba-tiba berhenti. Ia berjalan pelan menuju jendela kamar. Dibukanya gorden itu dengan cepat. Sosok menyeramkan itu menghilang. Jantungnya mulai berdetak pelan. Ia menghela nafasnya. Perasaannya mulai lebih tenang.

"Balonku ada lima rupa-rupa

warnanya..."

Lagu itu kembali berputar, Zola jantung Zola kembali berpacu. Kini lagu anak-anak itu terdengar jelas dan persis berada di belakangnya. Keringat dingin kembali membasahi tubuhnya yang sempat tenang sesaat.

"Hijau, kuning, kelabu, merah muda

dan biru..."

Zola menolehkan pandangannya ke belakang secara perlahan. Tubuhnya semakin bergetar dan berkeringat. Sosok itu tepat didepannya, wajahnya beringas, berhadapan dengan wajah Zola yang pucat. Tangan kiri lelaki itu memegang satu balon tersisa, sedangkan ditangan kanannya sebuah pisau penuh darah siap menghunus wajahnya yang seolah meminta belas kasihan.

Semyum lelaki misterius itu menyeringai. Diarahkannya pisau tajam itu tepat diwajah Zola, "Meletus balon hijau!"

"Dorr!!"

***

Jamal, Mario dan Gaga begitu terpukul sekaligus merinding mendengar sahabatnya meninggal secara mengenaskan. Ancaman pedagang balon yang tak pernah mereka kenal benar-benar nyata. Di pemakaman Zola, mereka saling berbisik menyinggung lelaki itu. Bisa jadi salah satu dari mereka akan menjadi korban selanjutnya.

"Malam ini dan seterusnya kalian tdiur di rumah gue," bisik Jamal.

Malam menjelang, Jamal menunggu kedatangan kedua temannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia menelpon Mario.

"Mar, jadi gak sih tidur dirumah gue? Gue takut nih."

"Ia bentar, dari tadi telpon Gaga gak diangkat," Jawab Mario.

"Jangan-jangan..." Jamal mulai khawatir dengan Gaga. Semenjak jam tujuh malam tadi, Whatsapp dan sosial medianya tidak aktif. Padahal dia yang paling sering aktif dimedia sosial diantara mereka. Tiba-tiba suara dering telpon mengagetkannya dari lamunan, itu dari Gaga. "Syukurlah..."

"Mal gue lagi di pagar rumah lu nih, sama Mario. Cepetan buka."

Bulu kuduk Jamal berdiri, ia membuka gorden kamarnya. Dari kamar ditingkat dua rumahnya terlihat Gaga bersama lelaki pedagang balon itu.

"Ga, lu sebaiknya lari cepet-cepet."

"Lah kok jadi ngusir Mal?" Gaga kebingungan.

"Bukan gitu Ga, Mario masih di rumahnya. Tadi dia nelpon gue, katanya lagi nungguin lu."

Tubuh Gaga bergemetar, kakinya tak bisa dibuat lari. Mario yang bersamanya kini berubah menjadi sosok lelaki menyeramkan. Sebuah pisau langsung dihujamkan ke wajahnya yang ketakutan. Satu balon yang dipegang lelaki itu meletus mengiringi kematian Gaga.

Jamal yang melihat kematian sahabatnya meneguk ludah. Keringat dingin menyerangnya. Sosok misterius itu menoleh dan menatapnya tajam dari kejauhan. Jamal bergegas menutup gorden. Ia menelpon kembali Mario.

"Halo Mar, Gaga mati Mar." Jamal semakin ketakutan, suara lagu kematian untuk mereka itu terdengar diponselnya.

"Mal, tolong gue Mal. Aaaaaa....." Mario memekik menahan sakit. Suara pisau yang menghunus tubuhnya terdengar jelas ditelinga Jamal. Teriakan Mario begitu menakutkan, ia pasti tersiksa.

Jamal keluar dari kamarnya, ia berlari menuju ruangan utama rumah. Dilihatnya sang ayah masih menonton televisi. Saat ia ingin mendekati ayahnya, televisi itu tiba-tiba menunjukkan tampilan statis.

"Balonku ada lima...."

Lagu itu muncul kembali. Ayah Jamal yang duduk di sofa kemudian bangun, ia menoleh kearah Jamal. Itu bukan ayahya. Kakinya membeku. Lelaki itu mendekati Jamal.

"Rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu,

merah muda dan biru..."

Kini wajah mereka saling berhadapan. Nafas psikopat itu mendengus. Pisau tajam menyayat sedikit demi sedikit pada wajah Jamal. Ia tak bisa bergerak sama sekali. Ia meringis kesakitan, menangis, meminta ampun. Darah mengalir dari wajahnya.

"Meletus balon hijau!" Sabetan terakhir menghujam wajah Jamal. "Dorr!"

"Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat... kupegang erat-erat...".***

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Arifina Budi A.
EditorArifina Budi A.
Follow Us