[CERPEN] Bintang yang Sepertimu

Meskipun engkau bukanlah bintang yang menghiasi langit di malam hari, engkau tetaplah bintang bagiku. Meskipun engkau bukanlah mawar yang ada di dalam kaca, engkau tetaplah mawar itu bagiku. Malam ini, aku sengaja menghabiskan malamku di bawah langit hanya untuk meratapi malam yang dinginnya dapat menusuk kulitku, malam yang hanya menggambarkan gelap tanpa akhir. Dengan pena dan sebuah buku kecil untuk menyajak tentangmu, Sang Pelipur Lara. Aku rasa, kita dekat dan secara bersamaan, aku merasa bahwa kita jauh, amat jauh sampai tiada kata yang keluar di antara bibir kita.
Berkali-kali, aku merasa kian rindu padamu, kian meneriakkan suaraku kepadamu dengan amat lantang agar kedua bola mata di balik kacamatamu menatapku. Aku tak perlu pikir panjang untuk menjadi penyajak untukmu di atas sehelai kertas tipis, segala rindu aku ubah menjadi berbagai kata indah yang menyambung seperti benang merah. Seperti ada pilar di antara kita berdua, dekat tapi jauh.
Aku menengadahkan kepalaku ke atas, di mana bintang-bintang memamerkan gemerlap liciknya yang mampu membuatku mengindahkan mereka. Aku selalu mengagumi yang indah, entah itu benda mati atau hidup, kenapa yang indah selalu jauh dariku? Kenapa kamu yang indah, jauh dariku? Penaku adalah satu-satunya pelukis rinduku dan buku catatan kecil adalah satu-satunya kanvasku untuk melukis tentangmu, Sang pelipur lara, aku benar-benar rindu … tidak bisakah engkau kemari dan membalas kerinduanku yang berat ini? Belah dadaku dengan kata rindumu maka engkau akan melihat seribu rindu yang kutanam tanpa kusiram.
Keederhanaanmu selalu membuatku takjub, kekuranganmu membuatku sadar jikalau engkau adalah manusia. Rindu ini masih untukmu, masih milikmu, aku tak berani mengucapkannya kepadamu. Sampai kapan aku harus menerima kenyataan, bahwa kita adalah dua orang yang jauh tetapi juga dekat, engkau tak tahu bila hal tersebut menyiksaku. Entah, sampai kapan aku harus terus meredam rasa pilu yang diciptakan oleh rasa rindu. Seribu tahun? Mungkin aku sudah lama menjadi bagian dari bintang yang aku kagumi saat ini, tetapi mungkin bersama denganmu, dan mungkin, dengan jarak yang jauh.
Namun, bila semua ini berakhir dan akhirnya aku bisa menerima bahwa rinduku hanyalah seonggok rasa untukmu, selanjutnya, aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah pengecut yang tak pandai memuntahkan rasa yang pilu ini. Aku akan selalu mengindahkanmu, di setiap langkah, setiap nafas, dan di setiap tawa yang terlukis di bibirmu. Secuil kisah kita akan kupanjangkan menjadi seribu kata karena aku tak ingin melupakannya. Sang pelipur lara.
Selamanya, engkau akan menjadi bintang yang bersinar di dalam buku catatan kecilku. Tanpa sepengetahuanmu. Aku menengadahkan kepalaku sekali lagi saat puisi untukmu hari ini telah tuntas aku tulis, tak perlu memakan waktu yang lama. Malam yang menyisir rambutku membuat merinding, bulan ditemani oleh bintang-bintang yang dari sini tampak kecil, tetapi cahaya mereka tak kalah indah dengan kilauan matamu. Aku harap, suatu saat engkau akan menatapku dan berkata, “Sejak kapan bintang ada di dalam matamu, Sadara?”