[Cerpen] Cinta Singkat

Aku Nana, kelas tiga SMP, sebentar lagi lulus. Yeah. Ah, siapa juga yang peduli padaku. Aku bukan artis yang punya banyak fans. Aku juga malas untuk cerita ke sana kemari, hilir mudik, mencari sensasi. Malas banget. Aku juga bukan tipe cewek yang caper. Tapi, ada sesuatu yang ingin kuceritakan. Ini tentangku. Tentu saja, masa cerita tetanggaku.
Sebelum bercerita, biar kujelaskan bagaimana diriku. Aku punya dua kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki yang malas sekali kuceritakan. Nah salah satu kakakku itu pintar banget, tidak sepertiku yang hanya rata-rata, bukan berarti aku bodoh, di kelas aku dapat ranking, selalu menjawab jika ada pertanyaan, jadi tempat nyonteknya anak-anak.
Kakak perempuanku yang satunya itu katanya cantik, rata-rata orang dewasa yang mengatakannya—karena dia selalu caper sama mereka, tapi dia sama sekali bukan tipe remaja karena mukanya yang suka marah-marah. Dia memang cantik, dan tentu saja aku tak kalah cantik darinya. Aku punya mata yang sangat cantik yang bisa membuat orang-orang tenggelam di kedalaman mataku. Ah, apa yang kukatakan.
Oh baiklah. Aku mulai saja. Kemarin itu, aku dapat pesan dari seorang teman. Teman pria, Radit. Aku agak kaget waktu pesannya muncul di salah satu media sosialku. Dia dulunya teman sekelasku, tapi sekarang sudah pindah ke luar kota, setelah lulus dari sekolah dasar.
Sebenarnya, aku ini malas sekali balas chat, tapi entah kenapa kemarin malam, jari-jariku ini mengetik dengan sangat baiknya. Dan baru saja tiga puluh menit yang lalu, siang tadi, sepulang dari sekolah, Radit mengirimiku pesan lagi, dan isinya hampir membuatku pingsan. Kenapa? Karena dia menembakku. Gila saja. Baru saja kemarin kirim-kiriman pesan, rupanya dia sudah terkena pesonaku.
Nah, karena itu aku jadi bingung saat membaca pesannya itu. Yang pertama kali kulakukan adalah, melihat kalender di telepon genggamku. Memastikan hari ini bukan 1 April. Dan tentu saja ini masih awal Februari. Itu berarti dia benar serius. Dan aku jadi semakin bingung, biasanya aku langsung menolak dengan alasan masih SMP, tidak pantas kalau sekarang punya pacar. Tapi Radit kan berbeda. Hem, dia itu tampan, seingatku dia juga pintar, selalu dapat rangking pertama, dan juga setelah stalking medsosnya, dia ternyata cukup romantis, baik, dan baiklah aku mungkin juga menyukainya.
Empat puluh menit berlalu. Kubaca sekali pesan romantis yang kalau kakakku yang suka sastra itu baca pasti akan muntah. Aku belum membalas pesannya, aku belum bisa memutuskannya.
Apa yang akan ayah dan ibu katakan jika tahu, maksudku bagaimana aku menjelaskan pada mereka. Bukankah mereka tak pernah pacaran dan langsung menikah? Kudengar ayah jatuh cinta pada pandangan pertama pada ibu dan tanpa lama-lama, ayah segera melamar ibu dan mereka menikah. Mereka mungkin tak akan suka dengan kata pacaran.
Selain itu, kalian tahu, dua kakak perempuanku yang di umur mereka sudah kepala dua tak pernah punya lelaki di kehidupan mereka selain ayah. Bagaimana mungkin di antara ketiga putri ayah, aku yang pertama kali. Kalau begitu, aku harus backstreet dengan Radit. Itu berarti, akan banyak tekanan batin, lagi pula aku tak suka ada rahasia antara aku, ibu, dan keluarga yang lain. Bisa-bisa aku jadi tukang bohong. Ah, aku tak ingin jadi anak durhaka. Kalau begitu, mereka akan membenciku.
Tapi, mungkin saja mereka akan mengerti. Bagaimana jika kutanyakan saja. Ah, baiklah, sudah satu jam aku membuat Radit menunggu. Raditku? Haha, aku akan memanggilnya seperti itu.
Aku belum mengganti seragamku dan keluar menemui kakak yang sedang duduk di depan TV. Pertama-tama akan kuperlihatkan pesan Radit ini padanya, sepertinya dia bisa menentukan apa harus kuceritakan pada ibu atau tidak.
Aku mengambil tempat di sampingnya. Berdehem beberapa kali, membuatnya menatapku. Hanya sebentar dan dia kembali mengarahkan pandangannya ke depan TV.
“Kamu kenapa?” tanyanya, seperti mengerti kalau aku ingin mengatakan sesuatu, “kayak cacing kebakar saja,” tambahnya, membuatku meringis, dia pasti sering melakukan hal kejam itu.
Aku berdehem sekali lagi. “Kak… ada yang pengen aku…” aku berhenti saat telepon genggamku berbunyi. Kulihat ada pesan masuk setelah pesan terakhirnya satu jam dan sepuluh menit yang lalu. Dari Radit. Aku membacanya dengan pelan-pelan. Mencoba mengerti pesan singkat itu. Keningku berkerut.
“Kamu ngapain? Entar lalat masuk lagi,” kata kakak melihatku yang menganga selebar lubang terowongan.
“Nggak,” kataku mencoba santai. Memasukkan telepon genggamku di saku seragam.
“Tadi kamu mau ngapain?”
Aku menggeleng. Tersenyum. “Pengen nonton,” kataku dengan pikiran meledak-ledak. Ingin rasanya kujitak kepala pria bodoh, plin-plan, tak sabaran, dan seharusnya langsung saja kubilang tidak tadi.
∞