[CERPEN] Di Antara Dua Dunia

Aku berdiri di batas jalan, tempat kota membelah dirinya menjadi dua, yang satu bersinar oleh kaca tinggi dan gemerlap cahaya, yang lain tenggelam dalam lumpur dan suara kelaparan.

Namaku Raka.

Setiap pagi, aku menjajakan koran di perempatan. Tangan kecilku mengangkat bundel berat, wajahku menantang debu dan terik matahari.

Di seberang jalan, mobil-mobil mewah mengalir seperti sungai emas. Di dalamnya, anak-anak seusia denganku duduk tenang, memeluk tablet dan mimpi-mimpi mahal. Pernah suatu kali, mata kami bertemu, aku dan seorang anak lelaki di balik jendela gelap sedan hitam.

Ia menatapku dengan bingung, seolah bertanya,

“Kenapa kamu di situ, dan aku di sini?” Aku tak bisa menjawab. Karena aku juga bertanya hal yang sama setiap hari.

Ibuku bekerja membersihkan rumah di wilayah elit, kadang ia membawa pulang makanan sisa, kadang hanya lelah. Ayahku hilang ditelan kesenjangan seperti banyak lelaki di kampung kami, pergi merantau, tak pernah kembali.

Katanya demi masa depan. Tapi masa depan itu tak pernah mengirim kabar.

Aku belajar di malam hari, dari buku bekas yang disumbangkan orang-orang baik. Mimpiku sederhana yaitu bisa masuk sekolah yang ada AC-nya, bisa makan tanpa harus menghitung beras, dan bisa berjalan di trotoar tanpa takut diusir hanya karena bajuku kumal.

Kota ini punya dua wajah. Yang satu berteriak tentang kemajuan, yang satu berbisik tentang ketidakadilan.

Aku tinggal di sela-selanya, di garis tipis yang rapuh antara harapan dan kenyataan.

Tapi aku masih percaya bahwa meski tak semua orang dilahirkan setara,semua orang berhak bermimpi. Dan mungkin, suatu hari nanti, jembatan akan dibangun bukan dari baja dan beton, tapi dari empati dan keberanian.

Menghubungkan kami yang di bawah, dengan mereka yang di atas.