[CERPEN] Sisi Lain Ibu

Kalila baru saja pulang dari kantor dan mendapati ibunya yang berada di dapur sedang asik meracik beberapa bahan. Makanan kesukaan tengah disiapkan. Aroma sedap mengudara di sepanjang ruangan. Jika saja tak terjadi apa-apa semalam, Kalila pasti sudah langsung menghampiri ibunya walau hanya sekadar mencicipi masakan. Namun, dirinya terlalu gengsi untuk memulai percakapan, sebab beberapa hal telah membuatnya kewalahan.
Perasaan kecewa masih memenuhi batin gadis berusia 25 tahun itu setelah menghabiskan malam dengan perdebatan yang cukup panjang bersama ibunya. Ada hal-hal yang ingin sekali Kalila ubah. Sikap ibunya dan beberapa hal yang menurutnya tampak kurang tepat.
Sikap ibu yang terlalu memanjakan Raka, adik laki-lakinya, cukup membuat Kalila kesal. Bukan karena tak mendapat perlakuan serupa, hanya saja ia khawatir Raka akan tumbuh menjadi sosok yang kurang mandiri. Gadis itu menyayangkan bagaimana ibunya menyikapi hal-hal dengan cara yang kurang tepat, setidaknya begitu menurut pandangan Kalila.
Bagi Kalila, sosok ibu seharusnya menjadi sebuah peran yang bisa bertindak secara bijaksana. Sosok yang perhatian namun bisa tetap bersikap tegas. Sayangnya, Kalila tidak mendapati hal tersebut. Sehingga ia tak jarang turun tangan untuk memberikan beberapa pandangan yang menurutnya benar kepada ibunya. Sudah beberapa kali ia berbicara pada ibunya mengenai hal demikian. Namun, semuanya meleset dari harapannya.
"Bu, biarkan Raka mengerjakan pekerjaannya sendiri, ia juga seharusnya sudah bisa membantu ibu di rumah. Tidak usah terlalu memanjakannya, dia sudah SMA," ujar Kalila.
Ibu berusaha menenangkan dengan mengusap bahu Kalila hingga jarak membuatnya bisa melihat lelah di mata ibunya. "Tidak apa-apa, Nak, banyak hal yang perlu dia kerjakan, dia juga harus belajar."
"Ibu lagi-lagi tidak mendengarkanku. Ini juga demi kebaikan ibu, demi kebaikan Raka, biar dia juga bisa lebih mandiri."
Ibu sudah tak mengatakan apapun, hingga Kalila memutuskan untuk beranjak ke kamar mengakhiri percakapan. Begitulah interaksi ibu dan anak itu berakhir semalam.
Kalila bukan tak bangga atau tak merasa bersyukur dengan ibunya yang kini sudah menjalani dua peran dalam keluarga sebagai ibu juga sekaligus ayah. Gadis itu bisa melihat bagaimana ibunya berubah menjadi dua kali lebih kuat setelah kepergian ayahnya. Meski beberapa hal tak sesuai dengan pandangan Kalila, sang Ibu tetap menjalankan semuanya dengan teratur. Meski setiap hari seperti dikejar waktu, tapi Kalila bisa melihat betapa telatennya sang ibu hingga bisa tetap tenang walau banyak hal yang perlu dikerjakan.
Ibu selalu bangun lebih awal dan tidur lebih akhir. Memastikan anak-anaknya segera bersiap di awal hari dan beristirahat di akhir akhir hari. Kalila sudah hafal betul bahwa di pagi hari ibu akan menjadi ibu yang akan selalu menyiapkan sarapan nikmat untuk anak-anaknya, memastikan mereka bisa menjalani hari dengan penuh energi. Lalu saat semua anak-anak telah menjalani harinya masing-masing, ibu akan bergelut dengan kue bolu yang harus dihias sesuai pesanan. Di mata Kalila, ibunya sudah seperti orang tersibuk di dunia ini yang masih bisa meluangkan waktu untuk duduk bersama anak-anaknya meski tanpa bertukar kata.
Sebenarnya Kalila selalu ingin mengobrol ringan bersama ibunya. Namun, pekerjaan menuntutnya untuk selalu fokus dan teliti. Pekerjaan di kantor sudah cukup menyita energinya, hingga waktu di rumah hanya cukup untuk beristirahat atau sekadar mengerjakan beberapa hal untuk meringankan pekerjaan ibu di rumah.
Selain itu Kalila juga sudah merasa sang ibu tidak membutuhkan ceritanya yang pasti akan membosankan, karena isi kepalanya sudah dipenuhi beberapa hal yang harus segera diselesaikan sebelum tenggat waktu. Hingga tanpa sadar Kalila sudah berada di titik tak banyak yang perlu diceritakan pada ibunya. Frekuensi mengobrol bersama ibu semakin berkurang seiring Kalila bertambah dewasa.
Sebenarnya Kalila beberapa kali mendapati ibunya mencoba memulai obrolan saat hening sudah memenuhi ruangan. Namun, seketika mengurungkan niat karena melihat Kalila tengah sibuk di depan layar sambil beberapa kali membolak-balikkan beberapa lembaran yang ada di meja. Akhirnya mereka berakhir dengan bergelut pada kesibukan masing-masing.
Malam kembali tiba tanpa banyak interaksi di rumah. Seperti tak terjadi apa-apa. Semua berjalan normal. Mungkin karena memang sudah biasa, hingga tak ada yang menyadari bahwa rumah itu sudah bisa dikatakan cukup sunyi, bahkan siang dan malam pun terasa tidak jauh berbeda.
Pukul 10 malam, sudah tak ada aktivitas yang dilakukan bersama. Semuanya berada dalam ruangan masing-masing. Kalila sendiri membereskan beberapa hal sebelum memutuskan untuk beristirahat. Ia menuju dapur hendak mengisi botol air minum. Saat melewati kamar ibunya, samar-samar terdengar suara lirih dari dalam sana.
"Ibu aku lagi sakit, kepalaku rasanya pusing sekali."
Itu ibu. Ia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Sesekali terdengar suara batuk dengan sisa tenaga yang dipaksakan.
"Ibu, rasanya rindu sekali. Aku mau cerita banyak. Sepi sekali rasanya, aku mau bermain di rumah ibu lagi. Aku mau masakan ibu."
Percakapan melalui telepon itu masih berlangsung tanpa menyadari kehadiran seorang anak yang baru saja berhenti di balik pintu untuk menyimak. Kalila tertegun. Ia tak pernah mengenal ibunya dengan lagak seperti itu. Sebab yang ia tahu, ibunya adalah sosok kuat yang tak pernah mengeluh. Ibunya adalah sosok yang mampu melihat semua hal berat dan sulit menjadi sebuah pekerjaan mudah. Ibu yang akan selalu bisa menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh anak-anaknya. Ibu yang akan menjadi ibu yang selalu bisa lebih kuat dari anak-anaknya.
Kalila lupa bahwa ibu juga adalah seorang anak dari ibunya. Kalila lupa bahwa ibu sebenarnya memang tak pernah kuat. Ia hanya terlihat kuat karena ia adalah ibu. Kalila mulai bertanya-tanya apakah setiap kali mereka memanggil ibu, ada sesak yang berusaha ditahan seolah batu besar sedang dipikul di punggungnya. Seiring waktu tertahan hingga mulai terbiasa. Bukan hilang, hanya saja sudah terbiasa.
Kalila jadi teringat beberapa kali ia mengomentari bagaimana ibunya memperlakukan Raka dan bagaimana ibunya menjalankan peran ibu seolah menuntutnya untuk menjadi lebih sempurna lagi tanpa boleh melakukan kesalahan. Padahal ibu hanya ibu yang juga baru pertama kali menjalani fase menjadi seorang ibu.
Saat menyadari percakapan telepon dari seberang sana sudah berakhir, Kalila memutuskan untuk memeriksa keadaan ibunya. Mengetuk pelan pintu kayu itu lalu mendorongnya perlahan.
"Kalila? Kok belum istirahat, Nak?" Tanya ibu saat menyadari kehadiran Kalila.
"Ibu sakit?"
Ibu hanya menggeleng. "Ibu hanya lelah, kamu belum istirahat? Besok bukannya harus bangun pagi lagi?" Tanya ibu.
Kalila bergerak menuju tempat tidur ibu, dan duduk di sampingnya. "Ibu sudah makan? Sudah minum obat?"
Ibu tersenyum tipis lalu mengangguk, "Tidak apa-apa. Ibu sudah makan kok. Ini sudah mau istirahat, kamu juga harus istirahat"
"Benar ibu tidak apa-apa?" Tanya Kalila ragu.
Sekali lagi ibu menggangguk, meyakinkan Kalila sambil mengusap pundak gadis itu.
"Ya sudah ibu tidur duluan, biar aku ambilkan selimut." Kalila beranjak mengambil selimut yang ada di lemari untuk dipakaikan pada ibunya. Meski samar, Kalila bisa melihat senyum tipis di wajah ibunya lalu perlahan menutup matanya untuk tidur.
Melihat ponsel ibunya yang masih berada di tempat tidur, Kalila mencoba memindahkannya ke atas meja. Layar ponsel masih terbuka, memperlihatkan sebuah situs pencarian. Sepertinya ibunya tadi tengah mencari sesuatu di pencaharian google lalu menerima telepon hingga tak sempat menutup tab pencarian itu.
Saat menggenggam ponsel ibunya, Kalila justru mendapati riwayat pencarian ibunya. "Cara menjadi ibu yang baik."